Unduh versi PDF Unduh Daftar Pustaka INFOGRAFIS
Laporan Analitis Komparatif: Paradigma Pembangunan di Maluku dan Maluku Utara (Proyeksi 2025-2035)
Abstrak Eksekutif
Laporan ini menyajikan analisis komparatif multi-horison yang mendalam terhadap dua paradigma pembangunan yang kontras di Indonesia Timur. Analisis ini berlatar pada pertengahan tahun 2025, di tengah kebijakan kontraksi fiskal nasional yang menekan dana transfer ke daerah. Fokus utama adalah pada kepemimpinan baru di Provinsi Maluku, di bawah Gubernur Hendrik Lewerissa (HL) dengan model "Arsitek Makro Infrastruktur-Sentris," dan Provinsi Maluku Utara, di bawah Gubernur Sherly Tjoanda (ST) dengan model "Inisiator Pembangunan Manusia Berbasis Komunitas."
Temuan Jangka Pendek (Juni 2025): Model pembangunan Gubernur Tjoanda menunjukkan keunggulan signifikan dalam membangun legitimasi politik awal. Hal ini tercermin dari simulasi Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) yang lebih tinggi, didorong oleh program sosial populis yang menyentuh langsung kebutuhan dasar masyarakat, seperti intervensi stunting dan program beasiswa. Kebijakan ini bersifat konkret, cepat dirasakan, dan mudah dikomunikasikan, sehingga efektif dalam menggalang dukungan publik. Sebaliknya, model Gubernur Lewerissa menghadapi tantangan legitimasi yang berat. Visi infrastruktur jangka panjangnya terhambat oleh dampak langsung pemotongan anggaran dari pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah oleh blunder politik (isu fiksional renovasi rumah dinas) yang menciptakan persepsi kesenjangan antara prioritas elite dengan kesulitan rakyat, yang pada akhirnya menekan tingkat kepuasan publik.
Proyeksi Jangka Panjang (2030-2035): Masing-masing model mengandung potensi keberhasilan sekaligus risiko kegagalan yang fundamental. Model HL di Maluku, meskipun dalam jangka pendek kurang populer dan berisiko tinggi menciptakan "ekonomi kantong" (enclave economy) serta degradasi lingkungan, memiliki potensi transformatif struktural. Jika berhasil mengintegrasikan ekonomi lokal dan didukung oleh teknologi seperti Akuakultur 4.0, model ini dapat secara fundamental mengatasi "Kutukan Sumber Daya Alam" dengan membangun fondasi ekonomi non-ekstraktif yang berkelanjutan. Di sisi lain, model ST di Maluku Utara, meskipun dalam jangka pendek berhasil meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan membangun modal sosial, berisiko menjadi "program paliatif." Program-programnya, yang didanai oleh rente dari industri nikel, tidak secara inheren mengubah ketergantungan struktural provinsi terhadap sektor ekstraktif yang sangat volatil dan rentan terhadap disrupsi teknologi baterai global (misalnya, kebangkitan baterai LFP dan Sodium-Ion).
Kesimpulan Inti: Analisis ini menyimpulkan bahwa tidak ada model yang superior secara absolut. Keduanya menghadapi kesenjangan implementasi (policy-implementation gap) yang signifikan dan tantangan terhadap kapasitas negara (state capacity). Keberhasilan jangka panjang akan sangat bergantung pada kemampuan masing-masing pemimpin untuk mengadopsi elemen-elemen krusial dari model lawan, menciptakan sebuah pendekatan hibrida yang menyeimbangkan pembangunan infrastruktur fisik dengan investasi pada modal manusia.
Rekomendasi Utama: Untuk Provinsi Maluku, direkomendasikan untuk memperkuat klausul inklusivitas sosial dan lingkungan dalam setiap perencanaan dan kontrak proyek infrastruktur, serta memprioritaskan infrastruktur digital pendukung ekonomi biru. Untuk Provinsi Maluku Utara, direkomendasikan untuk segera merancang dan mengimplementasikan peta jalan diversifikasi ekonomi yang didanai dari pendapatan nikel, misalnya melalui pembentukan dana abadi (sovereign wealth fund), sebagai langkah mitigasi strategis terhadap risiko transisi energi global dan volatilitas harga komoditas.
1. Pendahuluan: Dua Visi di Persimpangan Jalan Pembangunan Indonesia Timur
1.1 Konteks Krisis: Kontraksi Fiskal Nasional dan Imperatif Pembangunan Daerah
Pada pertengahan tahun 2025, lanskap ekonomi-politik Indonesia berada dalam fase yang menantang. Pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah mengimplementasikan kebijakan kontraksi fiskal yang ketat, sebuah langkah yang diperlukan untuk menjaga stabilitas makroekonomi nasional. Kebijakan ini mencakup efisiensi anggaran secara masif, dengan target pemangkasan belanja hingga Rp 306,6 triliun. Komponen signifikan dari penghematan ini berasal dari pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD), yang ditargetkan mencapai Rp 50,5 triliun.1
Bagi provinsi-provinsi di Indonesia, terutama yang memiliki ketergantungan tinggi pada dana pusat, kebijakan ini menciptakan guncangan fiskal yang hebat. Provinsi Maluku, secara khusus, diproyeksikan menjadi salah satu daerah yang paling terpukul. Estimasi dari kalangan politik lokal menyebutkan potensi pemotongan anggaran bisa mencapai Rp 3 triliun.2 Konsekuensi dari pemotongan ini sangat serius: program-program pembangunan, terutama yang bersifat padat modal seperti infrastruktur, terancam tertunda atau bahkan dibatalkan. Hal ini berpotensi memicu efek domino berupa perlambatan pertumbuhan ekonomi lokal, peningkatan angka pengangguran, dan pemburukan tingkat kemiskinan.2 Konteks krisis ini menjadi latar belakang yang krusial, menciptakan tekanan luar biasa bagi para pemimpin daerah yang baru terpilih untuk membuktikan efektivitas model pembangunan mereka dalam kondisi sumber daya yang semakin terbatas dan menuntut inovasi dalam tata kelola pemerintahan.
1.2 Premis Analisis: Arsitek Infrastruktur (HL) vs. Inisiator Manusia (ST)
Di tengah turbulensi fiskal inilah, dua provinsi kepulauan di gerbang timur Indonesia, Maluku dan Maluku Utara, memulai babak baru di bawah kepemimpinan gubernur yang mengusung paradigma pembangunan yang secara fundamental berbeda. Analisis ini berpegang pada premis fiksional untuk mempertajam perbandingan dua pendekatan tersebut:
- Gubernur Hendrik Lewerissa (HL) di Provinsi Maluku diidentifikasi sebagai arketipe "Arsitek Makro Infrastruktur-Sentris." Visi pembangunannya berakar pada keyakinan bahwa fondasi kemajuan ekonomi terletak pada pembangunan infrastruktur fisik skala besar. Prioritasnya adalah proyek-proyek strategis seperti pelabuhan modern, jembatan antarpulau, dan jalan arteri untuk membuka isolasi wilayah dan secara drastis menurunkan biaya logistik yang tinggi di provinsi kepulauan. Logika ini sejalan dengan pendekatan pembangunan nasional seperti Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan Proyek Strategis Nasional (PSN), yang bertujuan menciptakan konektivitas sebagai katalisator untuk membuka potensi ekonomi laten, khususnya di sektor perikanan (Lumbung Ikan Nasional) dan agrikultur.4
- Gubernur Sherly Tjoanda (ST) di Provinsi Maluku Utara diidentifikasi sebagai arketipe "Inisiator Pembangunan Manusia Berbasis Komunitas." Paradigma pembangunannya memprioritaskan investasi pada modal manusia sebagai prasyarat utama untuk pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif. Fokus kebijakannya diarahkan pada program-program yang menyentuh langsung denyut nadi masyarakat. Ini mencakup intervensi gizi untuk penanganan stunting, program beasiswa pendidikan yang masif untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), serta inisiatif pemberdayaan ekonomi komunitas di tingkat desa.7 Tujuannya adalah membangun fondasi masyarakat yang sehat, cerdas, dan berdaya saing sebelum mengejar target-target ekonomi makro.
Dua visi yang diametral ini menyediakan sebuah laboratorium alami untuk menganalisis pertaruhan strategis dalam pembangunan daerah di Indonesia.
1.3 Landasan Teoritis: Menavigasi Kutukan Sumber Daya, Kapasitas Negara, Kesenjangan Implementasi, dan Legitimasi Politik di Kepulauan Maluku
Untuk menghasilkan analisis yang holistik dan mendalam, laporan ini dibingkai oleh empat konsep teoretis utama dalam ilmu politik dan ekonomi pembangunan:
- Kutukan Sumber Daya Alam (Resource Curse): Konsep ini sangat relevan untuk kedua provinsi, namun dengan manifestasi yang berbeda. Maluku Utara, dengan kekayaan nikelnya yang melimpah, adalah studi kasus klasik dari potensi kutukan ini. Pertumbuhan ekonominya yang meroket didorong hampir sepenuhnya oleh industri ekstraktif.10 Analisis akan mengeksplorasi apakah model pembangunan ST hanya menikmati rente nikel untuk mendanai program sosial tanpa mengubah struktur ekonomi yang rapuh, ataukah ia mampu meletakkan dasar untuk diversifikasi. Isu-isu seperti pencemaran lingkungan yang parah di Halmahera, termasuk kerusakan perairan dan peningkatan kasus ISPA, akan dianalisis sebagai manifestasi nyata dari kutukan ini.11 Sementara itu, Maluku, dengan potensi perikanan dan pertaniannya, secara teoretis berupaya menghindari jebakan ini melalui model HL yang bertujuan membangun ekonomi non-ekstraktif.
- Kapasitas Negara (State Capacity): Ini merujuk pada kemampuan aparatur negara untuk secara efektif merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan. Dalam laporan ini, kapasitas negara akan diukur melalui serangkaian indikator proksi: kemampuan pemerintah daerah (pemda) untuk menyerap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara efisien 14, keberhasilan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai sumber pembiayaan mandiri 16, serta progres dalam implementasi reformasi birokrasi, terutama melalui Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE).18
- Kesenjangan Implementasi Kebijakan (Policy-Implementation Gap): Kerangka ini menyoroti jurang yang sering terjadi antara visi besar seorang pemimpin dan realitas pahit di lapangan. Visi infrastruktur HL yang megah, misalnya, akan dihadapkan pada kenyataan pemotongan anggaran dari pusat 2 dan tantangan birokrasi yang kompleks.20 Demikian pula, program-program sosial ST, meskipun dirancang dengan baik, bisa jadi tidak efektif jika implementasinya di tingkat desa lemah atau sasarannya tidak tepat.
- Legitimasi Politik (Political Legitimacy): Legitimasi adalah persepsi publik bahwa otoritas seorang pemimpin dan kebijakannya adalah sah dan pantas untuk didukung. Legitimasi ini akan dievaluasi, salah satunya, melalui simulasi Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM). Analisis akan menunjukkan bagaimana kebijakan populis ST yang menyentuh kebutuhan dasar berpotensi membangun legitimasi jangka pendek yang kuat.21 Sebaliknya, kebijakan HL yang manfaatnya tidak langsung terasa, ditambah dengan potensi blunder politik, dapat dengan cepat menggerus legitimasi yang baru ia peroleh pasca-pilkada.23
Keempat lensa teoretis ini akan digunakan secara terintegrasi untuk membedah kinerja jangka pendek dan memproyeksikan viabilitas jangka panjang dari kedua model pembangunan yang saling bersaing ini.
2. Analisis Kinerja Jangka Pendek (Rapor Kinerja Triwulan II 2025)
Bagian ini mengevaluasi kinerja aktual kedua pemerintahan provinsi dari awal masa jabatan hingga Juni 2025. Evaluasi ini menggunakan analisis PESTEL untuk memetakan lingkungan makro dan kerangka Balanced Scorecard untuk mengukur kinerja secara seimbang.
2.1 Peta Lingkungan Makro (Analisis PESTEL)
Lingkungan makro pada pertengahan 2025 menghadirkan serangkaian tantangan dan peluang yang berbeda bagi Maluku dan Maluku Utara.
- Politik (Political): Di kedua provinsi, stabilitas politik pasca-Pilkada 2024 tampak relatif terjaga. Aparat keamanan secara proaktif menjalankan program "cooling system" untuk meredakan ketegangan dan menjaga harmoni di tengah perbedaan pandangan politik.25 Namun, ujian sesungguhnya terletak pada dinamika hubungan antara eksekutif dan legislatif (DPRD). Di Maluku Utara, proses transisi kekuasaan berjalan lancar, ditandai dengan penyerahan dokumen gubernur terpilih ke Kemendagri tanpa hambatan berarti dan agenda rapat paripurna DPRD yang berjalan sesuai jadwal.27 Hal ini mengindikasikan hubungan kerja awal yang fungsional antara Gubernur ST dan DPRD. Sebaliknya, di Maluku, Gubernur HL menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Koalisi pendukungnya di DPRD akan diuji loyalitas dan efektivitasnya dalam menghadapi ancaman pemotongan anggaran pusat yang secara langsung mengancam program andalannya, yaitu pembangunan infrastruktur.
- Ekonomi (Economic): Faktor ekonomi dominan yang memengaruhi kedua provinsi adalah kontraksi fiskal nasional. Maluku menghadapi tekanan paling berat dengan proyeksi pemotongan anggaran hingga Rp 3 triliun, yang memaksa pemerintah provinsi untuk melakukan penghematan drastis dan meninjau ulang prioritas belanja.2 Maluku Utara, di sisi lain, tampak lebih beruntung karena pertumbuhan ekonominya yang didorong oleh industri nikel.10 Namun, provinsi ini tidak kebal terhadap gejolak eksternal. Harga nikel global menunjukkan tren penurunan pada Juni 2025, dari US$ 15.405 menjadi US$ 15.221 per dmt, akibat surplus pasokan global yang ironisnya dipicu oleh peningkatan produksi dari Indonesia sendiri.29 Dari sisi inflasi, Maluku mencatat inflasi tahunan (y-on-y) sebesar 1,88% pada Juni 2025, yang terutama dipicu oleh kenaikan harga komoditas pangan seperti ikan dan cabai.31 Sementara itu, Maluku Utara mencatat inflasi yang jauh lebih rendah pada Februari 2025, yaitu sebesar 0,16% (y-on-y).33
- Sosial (Social): Sentimen publik dan isu-isu sosial menjadi arena utama perebutan legitimasi. Di Maluku, data dari Ombudsman RI menunjukkan lonjakan signifikan laporan pengaduan dari masyarakat pada Triwulan I 2025, mengindikasikan adanya ketidakpuasan yang meluas terhadap kualitas pelayanan publik.23 Ini menjadi kerentanan besar bagi pemerintahan HL. Isu stunting menjadi medan pertempuran kebijakan yang krusial. Prevalensi stunting di Maluku yang masih tinggi di angka 28,4% 34 menjadikannya isu yang sangat sensitif. Di Maluku Utara, di mana prevalensi stunting berhasil diturunkan menjadi 23,7% pada 2023 36, kebijakan Gubernur ST yang secara agresif menargetkan isu ini akan mendapatkan resonansi publik yang sangat positif dan memperkuat citranya sebagai pemimpin yang peduli.
- Teknologi (Technological): Kedua provinsi sama-sama menghadapi tantangan dalam akselerasi transformasi digital. Di Maluku, Gubernur HL menunjukkan kesadaran akan urgensi ini dengan secara proaktif menggelar pertemuan bersama Telkomsel untuk membahas digitalisasi layanan dan mengatasi masalah daerah blankspot.37 Namun, tantangan struktural yang umum di Indonesia Timur—seperti keterbatasan SDM dengan kompetensi TIK dan infrastruktur jaringan yang belum merata—tetap menjadi penghalang utama bagi implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang efektif.20 Maluku Utara, yang menargetkan peningkatan indeks SPBE-nya 39, juga tidak luput dari kendala serupa.
- Lingkungan (Environmental): Isu lingkungan menjadi pembeda paling tajam antara kedua provinsi. Maluku Utara menghadapi krisis ekologis yang akut dan semakin memburuk akibat ekspansi industri pertambangan dan pengolahan nikel. Laporan investigatif dari organisasi seperti WALHI dan Mongabay secara gamblang mendokumentasikan dampak destruktif ini: pencemaran perairan Teluk Weda dan Pulau Obi oleh limbah tambang, deforestasi masif yang memicu banjir bandang, dan peningkatan tajam kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di sekitar kawasan industri akibat polusi udara dari PLTU captive.11 Ini adalah "bom waktu" sosial dan ekologis bagi pemerintahan ST, yang model pembangunannya belum secara langsung menjawab atau memitigasi dampak dari pilar ekonomi utama provinsinya. Maluku, untuk saat ini, menghadapi isu lingkungan yang lebih sporadis dan belum mencapai skala krisis seperti di provinsi tetangganya.
- Hukum (Legal): Efektivitas penegakan hukum dan implementasi Peraturan Daerah (Perda) menjadi tolok ukur kapasitas tata kelola. Studi umum menunjukkan bahwa efektivitas Perda seringkali lemah pada tataran implementasi, di mana peraturan yang baik di atas kertas gagal menghasilkan perubahan di lapangan.40 Bagi kedua pemerintahan, setiap kebijakan baru yang digulirkan—baik itu terkait perizinan investasi infrastruktur di Maluku maupun mekanisme penyaluran bantuan sosial di Maluku Utara—memiliki potensi menghadapi gugatan hukum atau sengketa jika tidak dirancang dengan cermat, tidak selaras dengan peraturan yang lebih tinggi, atau dianggap merugikan kelompok masyarakat tertentu.
2.2 Rapor Kinerja Pemerintah Daerah (Analisis Balanced Scorecard)
Kerangka Balanced Scorecard (BSC) digunakan untuk memberikan penilaian kinerja yang seimbang, melampaui sekadar metrik keuangan, dan mencakup perspektif masyarakat, tata kelola internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan.
Perspektif Keuangan (Financial)
Pemerintahan HL di Maluku memulai masa jabatannya di bawah tekanan fiskal yang luar biasa. Meskipun Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2024 berhasil meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK untuk keenam kalinya secara berturut-turut 15, prestasi ini mencerminkan kepatuhan akuntansi di masa lalu dan bukan merupakan jaminan kinerja di tengah krisis yang membayangi. Realisasi pendapatan APBD 2024 yang mencapai 94,18% dari target 15 akan sulit dipertahankan mengingat proyeksi pemotongan TKD yang signifikan pada 2025.2 Dengan kondisi ini, kemampuan HL untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur andalannya akan sangat terbatas. Oleh karena itu, upaya inovatif untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)—yang pada 2024 terealisasi sebesar Rp 652,24 miliar 15—menjadi sebuah keharusan mutlak. Strategi seperti digitalisasi layanan pajak dan retribusi daerah serta optimalisasi aset menjadi kunci untuk bertahan.17
Di Maluku Utara, posisi keuangan Gubernur ST di permukaan tampak lebih solid berkat windfall dari industri nikel. Realisasi APBD 2024 dilaporkan mencapai 92,45%.14 Namun, di balik angka tersebut, terdapat tanda-tanda kerapuhan. Laporan mengindikasikan adanya tren "pendapatan turun, belanja terkontraksi," yang menandakan tantangan dalam pengelolaan anggaran.45 Lebih mengkhawatirkan lagi adalah catatan dari BPK. Provinsi ini menerima opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) untuk LKPD 2022 dan 2023 46, dan LHP 2024 menyoroti temuan signifikan terkait realisasi belanja barang yang tidak disertai dokumen pertanggungjawaban yang memadai senilai miliaran rupiah.47 Ini menunjukkan kelemahan fundamental dalam kapasitas negara di bidang pengelolaan keuangan, sebuah risiko tata kelola yang serius bagi pemerintahan ST meskipun potensi PAD-nya lebih besar.
Perspektif Masyarakat/Pelanggan (Customer)
Analisis ini menyimulasikan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) untuk kedua gubernur, yang hasilnya menunjukkan perbedaan mencolok dalam kemampuan membangun legitimasi politik awal.
IKM Gubernur ST di Maluku Utara disimulasikan berada pada level "Baik" (nilai konversi 80-85). Skor tinggi ini didorong oleh kebijakan-kebijakan populis yang cerdas dan menyentuh langsung kebutuhan dasar masyarakat. Program beasiswa "Maluku Utara Bangkit" yang menggandeng 27 perguruan tinggi 7 dan program intervensi stunting yang agresif 8 adalah contoh kebijakan yang sangat efektif dalam membangun persepsi positif. Program-program ini bersifat tangible (nyata), manfaatnya dirasakan langsung oleh keluarga, dan mudah dikomunikasikan melalui media. Studi kasus tentang program bantuan sosial di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun efektivitas jangka panjangnya bisa diperdebatkan, program semacam ini cenderung diterima dengan sangat baik oleh publik dan meningkatkan kepuasan terhadap pemerintah.21
Sebaliknya, IKM Gubernur HL di Maluku disimulasikan berada pada level "Cukup" (nilai konversi 65-70). Skor yang lebih rendah ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, visi infrastrukturnya bersifat jangka panjang dan manfaatnya tidak langsung dirasakan oleh masyarakat dalam waktu singkat. Kedua, di tengah kontraksi fiskal, penundaan atau pembatalan proyek yang telah dijanjikan akan menimbulkan kekecewaan publik. Ketiga, isu fiksional "renovasi rumah dinas" di tengah kesulitan ekonomi rakyat akan menjadi pemicu sentimen negatif yang sangat kuat. Isu semacam ini, sebagaimana dianalisis dalam studi sentimen, dapat secara signifikan merusak citra pemerintah dan menurunkan tingkat kepercayaan.22 Persepsi ini diperkuat oleh data riil tentang lonjakan jumlah keluhan masyarakat terhadap pelayanan publik di Maluku yang dilaporkan ke Ombudsman.23 Kombinasi faktor-faktor ini menciptakan citra pemerintahan yang dianggap tidak peka dan berjarak dari rakyat, yang secara signifikan menekan IKM-nya.
Perspektif Proses Bisnis Internal (Internal Governance)
Efisiensi birokrasi merupakan kunci untuk menjembatani kesenjangan antara visi dan implementasi. Salah satu langkah awal yang lazim dilakukan oleh kepala daerah baru adalah mutasi pejabat. Kebijakan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Jika dilakukan secara strategis untuk menempatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang kompeten pada posisi yang tepat (the right person in the right place), mutasi dapat mendorong motivasi, inovasi, dan peningkatan kinerja organisasi.49 Namun, jika mutasi didominasi oleh pertimbangan politik balas budi, hal ini justru akan merusak moral, menciptakan resistensi pasif dalam birokrasi, dan memperlebar policy-implementation gap.
Implementasi SPBE menjadi proksi modern untuk mengukur kapasitas dan modernisasi birokrasi. Maluku Utara, meskipun memiliki target ambisius untuk meraih predikat "Baik" pada 2024 18, data evaluasi SPBE tahun 2023 menunjukkan indeksnya masih berada di level "Cukup" dengan skor 2,49.19 Ini mengindikasikan adanya ruang perbaikan yang signifikan, terutama di domain manajemen SPBE seperti arsitektur sistem.39 Maluku, dengan tantangan geografis yang lebih berat dan masih adanya daerah blankspot 37, kemungkinan besar menghadapi tantangan implementasi SPBE yang setara atau bahkan lebih besar, meskipun beberapa pemerintah kabupatennya telah memiliki Perda tentang SPBE.52 Keterbatasan umum di Indonesia Timur, seperti kurangnya SDM TIK dan infrastruktur yang belum merata, menjadi penghambat bagi kedua administrasi.20
Perspektif Pembelajaran & Pertumbuhan (Learning & Growth)
Aspek ini mengukur investasi pemerintah daerah pada fondasi masa depannya: kapasitas aparatur dan kolaborasi berbasis pengetahuan. Kedua provinsi menunjukkan kesadaran akan pentingnya peningkatan kapasitas ASN. Di Maluku Utara, Pemprov secara aktif berkolaborasi dengan BPSDMP Kominfo Manado untuk menyelenggarakan pelatihan digital Government Transformation Academy (GTA) bagi puluhan ASN.53 Di Maluku, komitmen ini terlihat dari langkah cepat menindaklanjuti kebijakan pusat seperti Work From Anywhere (WFA) 54 dan upaya serius dalam penyusunan RPJPD 2025-2045 yang menuntut ASN berkualitas.55 Inisiatif seperti penandatanganan pakta integritas untuk meraih predikat Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) di lingkungan Kanwil Kemenkumham Maluku juga mencerminkan adanya dorongan untuk peningkatan kapasitas.56
Kolaborasi dengan universitas dan lembaga riset menjadi indikator kunci bagi inovasi kebijakan. Di sini, Maluku Utara tampak lebih proaktif. Gubernur ST tidak hanya meneken MoU beasiswa dengan 27 kampus 7, tetapi juga melanjutkan tradisi kerja sama yang telah terjalin antara Pemprov/Polda dengan Universitas Khairun (Unkhair) dalam berbagai bidang, termasuk program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).57 Maluku juga menunjukkan adanya kolaborasi, misalnya melalui kemitraan antara IIGF Institute, Universitas Pattimura, dan pemerintah dalam riset pembiayaan infrastruktur.59 Namun, kedalaman, frekuensi, dan hasil nyata dari kolaborasi inilah yang akan menjadi pembeda dalam kapasitas kedua pemerintahan untuk merumuskan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy).
Tabel 2: Dasbor Komparatif Balanced Scorecard (BSC) - Kinerja Triwulan II 2025
Perspektif BSC | Indikator Kunci | Provinsi Maluku (Gubernur HL) | Provinsi Maluku Utara (Gubernur ST) | Analisis Singkat |
Keuangan | Realisasi Belanja APBD 2024 | 93.95% 15 | 92.45% 14 | Keduanya menunjukkan penyerapan yang baik, namun kinerja masa lalu ini dibayangi oleh tantangan fiskal 2025. |
Pertumbuhan PAD | Terancam stagnan akibat kontraksi ekonomi. | Berpotensi tinggi namun bergantung pada volatilitas nikel. | HL harus berinovasi untuk PAD, sementara ST menghadapi risiko dari sumber PAD utamanya. | |
Opini BPK (LKPD 2024) | Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) 42 | Wajar Dengan Pengecualian (WDP) (berdasarkan tren 2022-2023) & Temuan Signifikan 46 | Maluku menunjukkan kepatuhan akuntansi yang lebih baik, sementara Malut memiliki risiko tata kelola keuangan yang lebih tinggi. | |
Masyarakat | Simulasi Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) | Cukup (Skor Konversi: 65-70) | Baik (Skor Konversi: 80-85) | Program sosial ST yang populis dan tangible efektif membangun kepuasan publik jangka pendek. |
Sentimen Publik Dominan | Negatif (dipicu blunder kebijakan & dampak kontraksi fiskal) 23 | Positif (didorong program pro-rakyat) 21 | ST memenangkan "pertempuran persepsi" di awal masa jabatan. | |
Prevalensi Stunting | Tinggi (28.4%) 34 | Menurun (23.7% di 2023) 36 | Isu stunting menjadi keunggulan komparatif bagi ST dan kerentanan bagi HL. | |
Tata Kelola Internal | Indeks SPBE (berdasarkan data 2023) | Cukup (estimasi setara/di bawah Malut) | Cukup (2.49) 19 | Kedua provinsi menghadapi tantangan struktural dalam digitalisasi pemerintahan. |
Efektivitas Mutasi Pejabat | Risiko Tinggi Politisasi | Risiko Tinggi Politisasi | Sebagai gubernur baru, keduanya rentan menggunakan mutasi untuk konsolidasi politik, bukan meritokrasi. | |
Pembelajaran & Pertumbuhan | Program Peningkatan Kapasitas ASN | Ada (WFA, Target WBBM) 54 | Ada (Pelatihan Digital GTA) 53 | Keduanya menunjukkan komitmen, namun skala dan dampak program perlu dievaluasi lebih lanjut. |
Kolaborasi dengan Universitas | Ada (Riset Infrastruktur) 59 | Intensif (Program Beasiswa, MBKM) 7 | Maluku Utara menunjukkan tingkat kolaborasi yang lebih terstruktur dan masif dengan dunia akademik. |
3. Proyeksi & Analisis Strategis Jangka Panjang (Visi 2030-2035)
Bagian ini mengalihkan fokus dari evaluasi kinerja saat ini ke analisis strategis untuk memproyeksikan viabilitas, dampak, dan keberlanjutan dari masing-masing model pembangunan dalam horizon waktu 5 hingga 10 tahun ke depan.
3.1 Posisi dan Arah Strategis (Analisis SWOT)
Analisis SWOT ini tidak berfokus pada figur personal gubernur, melainkan pada kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang melekat pada masing-masing model pembangunan itu sendiri.
Model HL (Infrastruktur-Sentris - Maluku):
- Strengths (Kekuatan): Kekuatan utama model ini terletak pada potensinya untuk menciptakan perubahan struktural yang fundamental. Dengan membuka isolasi wilayah, biaya logistik dapat ditekan secara signifikan, yang pada gilirannya meningkatkan daya saing produk-produk lokal. Visi ini memiliki daya tarik yang kuat bagi investor skala besar yang membutuhkan kepastian konektivitas dan infrastruktur pendukung. Jika berhasil, model ini dapat menciptakan multiplier effect ekonomi yang luas dalam jangka panjang.
- Weaknesses (Kelemahan): Kelemahan paling fatal adalah kebutuhan modal yang sangat besar, membuatnya sangat rentan terhadap guncangan fiskal seperti kontraksi anggaran nasional saat ini. Manfaat dari proyek infrastruktur bersifat tidak langsung dan membutuhkan waktu lama untuk dirasakan oleh masyarakat luas, menciptakan risiko defisit legitimasi politik. Selain itu, proyek-proyek besar selalu dibayangi risiko kegagalan konstruksi (proyek mangkrak) dan potensi korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa.
- Opportunities (Peluang): Peluang terbesar adalah sinergi dengan agenda pembangunan nasional, seperti program Lumbung Ikan Nasional (LIN). Peningkatan konektivitas pelabuhan dan darat dapat memicu ledakan pertumbuhan di sektor perikanan, akuakultur, dan pariwisata bahari, yang merupakan kekuatan ekonomi intrinsik Maluku.
- Threats (Ancaman): Ancaman utama bersifat eksternal dan struktural. Perubahan iklim, khususnya kenaikan permukaan air laut, dapat merusak atau bahkan menenggelamkan infrastruktur pesisir yang dibangun dengan biaya mahal.60 Perubahan konstelasi politik nasional pasca-pemilu dapat menghentikan aliran pendanaan dari pusat. Risiko paling signifikan adalah terciptanya "ekonomi kantong" (enclave economy), di mana infrastruktur canggih hanya melayani kepentingan segelintir industri besar tanpa memberikan manfaat berarti bagi ekonomi rakyat sekitar, sebuah pola yang sering terlihat dalam proyek-proyek skala besar di daerah kaya sumber daya.62
Model ST (Pembangunan Manusia - Maluku Utara):
- Strengths (Kekuatan): Kekuatan model ini adalah kemampuannya membangun modal sosial dan legitimasi politik yang kuat dengan cepat. Dampak programnya dirasakan langsung oleh masyarakat, menciptakan ikatan emosional dan dukungan publik yang solid. Secara finansial, biaya per program (misalnya, beasiswa, PMT stunting) relatif lebih rendah dan lebih fleksibel dibandingkan proyek infrastruktur, sehingga lebih tahan terhadap pemotongan anggaran skala kecil. Secara terukur, model ini akan secara langsung meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
- Weaknesses (Kelemahan): Skalabilitas dan dampak ekonomi jangka panjang dari program-program ini masih dipertanyakan. Model ini berisiko menciptakan mentalitas ketergantungan pada bantuan sosial dan tidak secara langsung mengatasi masalah fundamental ekonomi provinsi, yaitu ketergantungan ekstrem pada industri ekstraktif nikel.64 Tanpa penciptaan lapangan kerja baru yang masif, investasi pada SDM bisa berakhir dengan
brain drain. - Opportunities (Peluang): Peluang strategisnya adalah menciptakan fondasi SDM yang unggul. Jika berhasil, generasi yang lebih sehat dan terdidik dapat menjadi motor bagi diversifikasi ekonomi di masa depan, beralih ke sektor jasa, ekonomi kreatif, dan teknologi informasi, yang tidak terlalu bergantung pada eksploitasi sumber daya alam.
- Threats (Ancaman): Ancaman terbesar adalah ketidakberlanjutan finansial. Seluruh model ini secara implisit didanai oleh pendapatan dari industri nikel. Ketergantungan ini membuat program-program sosial ST sangat rapuh terhadap dua disrupsi besar: volatilitas harga komoditas nikel di pasar global 30 dan, yang lebih fundamental, disrupsi teknologi baterai. Kebangkitan baterai non-nikel seperti Lithium Ferro-Phosphate (LFP) dan Sodium-Ion (Na-ion) merupakan ancaman eksistensial bagi masa depan industri nikel Maluku Utara.66
3.2 Proyeksi Tren dan Tantangan Masa Depan (Analisis PESTEL Jangka Panjang)
Analisis PESTEL jangka panjang memproyeksikan tren-tren besar yang akan membentuk ulang lanskap pembangunan di kedua provinsi hingga dekade berikutnya.
- Politik: Perubahan sistem pemilu pada 2029, di mana pemilu nasional dan pilkada diselenggarakan terpisah 68, serta potensi penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 69, diperkirakan akan meningkatkan fragmentasi politik di tingkat nasional.
Implikasinya, hubungan pusat-daerah bisa menjadi lebih transaksional dan kurang stabil. Dukungan anggaran dari pemerintah pusat untuk proyek-proyek strategis daerah akan sangat bergantung pada afiliasi politik gubernur dengan koalisi yang berkuasa. Ini merupakan ancaman serius bagi model HL di Maluku yang sangat bergantung pada pendanaan pusat untuk proyek infrastrukturnya. - Ekonomi: Transisi energi global adalah disrupsi ekonomi terbesar yang akan dihadapi kawasan ini. Meskipun permintaan nikel untuk baterai kendaraan listrik (EV) diperkirakan tetap menjadi mineral penting hingga 2035 71, kemunculan dan adopsi cepat teknologi baterai alternatif yang tidak menggunakan nikel, seperti LFP dan Sodium-Ion, adalah ancaman yang tidak bisa diabaikan.72 Baterai LFP sudah menggerus pasar, sementara baterai Sodium-Ion yang lebih murah dan melimpah bahan bakunya sedang dalam pengembangan pesat.72
Implikasinya, model ekonomi Maluku Utara yang bertumpu 100% pada nikel sangat rapuh. Jika tren baterai non-nikel ini terus menguat, Maluku Utara berisiko mengalami de-industrialisasi dan krisis fiskal yang parah dalam 5-10 tahun ke depan, yang akan membuat model pembangunan manusia ST menjadi tidak berkelanjutan secara finansial. - Sosial: Tren investasi global yang semakin menekankan aspek Environmental, Social, and Governance (ESG) akan menjadi norma.76 Investor dan pasar internasional, terutama di Eropa, akan menuntut standar keberlanjutan yang lebih tinggi dari rantai pasok mereka.80
Implikasinya, industri nikel di Maluku Utara, yang saat ini memiliki rekam jejak lingkungan dan sosial yang buruk (deforestasi, polusi, konflik sosial) 11, akan menghadapi tekanan yang luar biasa. Perusahaan akan dipaksa untuk berinvestasi lebih besar pada mitigasi dampak lingkungan dan program sosial, yang dapat menekan margin keuntungan. Ini adalah pedang bermata dua: mendorong praktik yang lebih baik, tetapi juga berpotensi mengurangi sumber pendapatan provinsi yang mendanai program-program ST. - Teknologi: Revolusi Akuakultur 4.0, yang mengintegrasikan Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), sensor pemantau kualitas air, dan sistem manajemen tambak cerdas, menawarkan peluang transformasional bagi sektor perikanan budidaya.81 Teknologi ini memungkinkan peningkatan produktivitas, efisiensi pakan, dan keberlanjutan secara drastis.
Implikasinya, ini adalah peluang emas bagi model HL di Maluku. Infrastruktur konektivitas fisik dan digital yang ia bangun dapat menjadi fondasi yang sempurna untuk adopsi teknologi ini oleh para pembudidaya ikan dan udang, berpotensi melambungkan Maluku menjadi pemain utama dalam industri akuakultur modern. - Lingkungan: Perubahan iklim bukan lagi isu abstrak, melainkan ancaman eksistensial bagi provinsi kepulauan seperti Maluku dan Maluku Utara.60 Proyeksi ilmiah yang kredibel menunjukkan kenaikan permukaan air laut akan menenggelamkan ribuan pulau kecil di Indonesia pada tahun 2050 dan menyebabkan banjir rob yang semakin sering di kota-kota pesisir.61
Implikasinya, seluruh investasi infrastruktur di wilayah pesisir (inti dari model HL) memiliki risiko kerusakan atau kehilangan yang sangat tinggi. Komunitas pesisir (yang menjadi target program sosial ST) akan menjadi semakin rentan, meningkatkan tekanan pada anggaran bantuan sosial. Kebijakan adaptasi perubahan iklim bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan strategis untuk kelangsungan hidup kedua provinsi. - Hukum: Sejalan dengan tren sosial (ESG), regulasi lingkungan di tingkat global dan nasional akan semakin ketat. Perusahaan tambang dan industri lainnya akan dipaksa untuk mematuhi standar yang lebih tinggi terkait pengelolaan limbah, reklamasi lahan, dan hak-hak masyarakat.80
Implikasinya, ini akan meningkatkan biaya operasional industri nikel di Maluku Utara. Jika penegakan hukum kuat, ini dapat mendorong praktik yang lebih berkelanjutan. Namun, jika lemah, ini hanya akan menjadi regulasi di atas kertas sementara kerusakan terus berlanjut.
3.3 Riset Kebijakan: Analisis Dampak dan Keberlanjutan Model Pembangunan
Analisis ini menggali lebih dalam potensi kegagalan jangka panjang dari masing-masing model dengan membandingkannya dengan pengalaman historis dan kerangka teoritis.
Model HL (Maluku) - Potensi "Ekonomi Kantong" vs. Pembangunan Inklusif
Visi pembangunan infrastruktur-sentris Gubernur Lewerissa, meskipun terdengar logis, mengandung risiko mengulangi kegagalan model pembangunan serupa di masa lalu. Proyek-proyek skala besar seperti MP3EI dan banyak Proyek Strategis Nasional (PSN) sering dikritik karena menciptakan "ekonomi kantong" (enclave economy). Dalam model ini, infrastruktur modern dibangun, namun seringkali hanya untuk melayani kepentingan ekstraksi sumber daya alam atau industri besar, dengan sedikit sekali keterkaitan atau manfaat yang menetes ke bawah (trickle-down effect) bagi ekonomi rakyat.63
Studi evaluasi terhadap MP3EI menunjukkan bahwa pendekatan yang terlalu didorong oleh swasta (private-driven) tanpa kapasitas negara yang memadai untuk mengatur dan memastikan inklusivitas, seringkali berujung pada konflik lahan dan marginalisasi masyarakat lokal.89 Pembangunan infrastruktur di daerah yang kaya sumber daya alam juga terbukti seringkali menimbulkan dampak sosial dan lingkungan negatif yang tidak sepadan dengan manfaat ekonominya bagi penduduk setempat.90
Pertanyaan kritis yang harus dijawab oleh model HL adalah: Apakah ada mekanisme kebijakan yang konkret untuk mencegah terbentuknya enclave economy? Apakah ada program pendamping yang memastikan UMKM lokal dapat mengakses rantai pasok proyek-proyek besar? Apakah ada skema pelatihan dan penyerapan tenaga kerja lokal yang diwajibkan bagi para investor? Tanpa jawaban afirmatif atas pertanyaan-pertanyaan ini, model HL berisiko tinggi hanya akan membangun "jalan tol di atas desa-desa miskin." Ini akan menjadi manifestasi klasik dari Policy-Implementation Gap, di mana visi besar gagal diterjemahkan menjadi kesejahteraan yang merata, dan pada akhirnya gagal membebaskan Maluku dari potensi Kutukan Sumber Daya Alam.
Model ST (Maluku Utara) - "Program Paliatif" vs. Transformasi Struktural
Model pembangunan manusia Gubernur Tjoanda, yang dipuji karena inklusivitas dan kemampuannya membangun legitimasi, menghadapi ujian keberlanjutan dan dampak transformatif dalam jangka panjang. Analisis ini akan mengevaluasi apakah program-program sosialnya mampu menciptakan perubahan struktural, atau hanya akan menjadi "program paliatif"—yakni, program yang meredakan gejala kemiskinan (seperti gizi buruk atau putus sekolah) tanpa mengobati penyakit utamanya (ketergantungan ekonomi pada industri ekstraktif).
Evaluasi terhadap program bantuan sosial nasional seperti Program Keluarga Harapan (PKH) memberikan pelajaran berharga. Studi menunjukkan bahwa PKH efektif dalam membantu konsumsi rumah tangga jangka pendek, menjaga anak tetap sekolah, dan meningkatkan kunjungan ke fasilitas kesehatan.64 Namun, dampaknya dalam mengubah struktur ekonomi rumah tangga secara fundamental—misalnya, dengan menciptakan wirausaha baru atau meningkatkan pendapatan secara berkelanjutan—masih menjadi perdebatan dan seringkali tidak signifikan.94 Bantuan sosial berisiko menciptakan ketergantungan jika tidak diiringi dengan program pemberdayaan ekonomi yang efektif.
Pertanyaan kritis untuk model ST adalah: Apakah program beasiswa yang masif 7 akan diikuti dengan penciptaan lapangan kerja berkualitas di Maluku Utara sehingga para lulusan kembali membangun daerah, atau justru hanya akan memfasilitasi brain drain ke Jawa atau pusat ekonomi lainnya? Apakah program penanganan stuntingnya 8 hanya bersifat karitatif (pemberian makanan tambahan) atau juga mencakup edukasi pola asuh dan pemberdayaan ekonomi keluarga yang berkelanjutan, yang merupakan faktor kunci keberhasilan jangka panjang?96 Tanpa strategi yang jelas untuk menghubungkan peningkatan kualitas SDM dengan diversifikasi ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di luar sektor tambang, model ST berisiko hanya akan menghabiskan rente nikel untuk program-program yang baik namun tidak transformatif. Ini adalah bentuk lain dari kegagalan mengatasi Kutukan Sumber Daya Alam, di mana kekayaan alam dieksploitasi habis tanpa meninggalkan warisan ekonomi yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.
4. Sintesis & Kesimpulan Komparatif
Bagian akhir ini menyatukan seluruh rangkaian analisis untuk memberikan perbandingan langsung antara kedua model pembangunan, menyimpulkan temuan utama, dan merumuskan rekomendasi kebijakan yang strategis dan dapat ditindaklanjuti.
4.1 Perbandingan Resiliensi dan Potensi Keberhasilan
Untuk membandingkan secara langsung potensi dan kerapuhan dari kedua model, digunakan sebuah matriks komparatif. Matriks ini mengevaluasi setiap model berdasarkan kerangka teoritis yang telah ditetapkan dan resiliensinya terhadap tantangan masa depan yang telah diproyeksikan.
Tabel 4: Matriks Komparatif Resiliensi dan Keberlanjutan Model Pembangunan (Proyeksi 2030-2035)
Kriteria Evaluasi Strategis | Model Infrastruktur-Sentris (HL - Maluku) | Model Pembangunan Manusia (ST - Maluku Utara) | Justifikasi Komparatif |
Potensi Mengatasi Kutukan Sumber Daya | Sedang hingga Tinggi | Rendah | Model HL, jika berhasil, berpotensi membangun ekonomi non-ekstraktif (perikanan, pariwisata). Model ST, dalam bentuknya saat ini, justru memperkuat ketergantungan pada rente nikel tanpa strategi diversifikasi yang jelas. |
Resiliensi thd. Guncangan Harga Komoditas | Tinggi | Sangat Rendah | Ekonomi Maluku yang ditargetkan HL lebih terdiversifikasi. Ekonomi Maluku Utara yang mendanai model ST sangat bergantung pada harga nikel yang volatil. |
Resiliensi thd. Disrupsi Teknologi | Tinggi | Sangat Rendah | Model HL diuntungkan oleh teknologi Akuakultur 4.0. Model ST sangat terancam oleh disrupsi teknologi baterai non-nikel (LFP, Sodium-Ion) yang dapat membuat nikel menjadi kurang relevan. |
Resiliensi thd. Perubahan Iklim | Rendah | Sedang | Infrastruktur fisik pesisir (model HL) sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut. Program sosial (model ST) lebih fleksibel, meskipun target populasinya (masyarakat pesisir) juga sangat rentan. |
Kebutuhan Kapasitas Negara (State Capacity) | Sangat Tinggi | Tinggi | Model HL membutuhkan kapasitas perencanaan, pengadaan, dan pengawasan proyek yang sangat besar. Model ST membutuhkan kapasitas implementasi program sosial yang presisi, tepat sasaran, dan bebas dari kebocoran. Keduanya menghadapi tantangan ini. |
Risiko Kesenjangan Implementasi | Sangat Tinggi | Tinggi | Model HL sangat rentan terhadap pemotongan anggaran pusat dan birokrasi yang lamban. Model ST rentan terhadap kegagalan di tingkat implementasi desa dan potensi ketidaktepatan sasaran bantuan. |
Pembangunan Legitimasi Politik (Jangka Pendek) | Rendah | Tinggi | Manfaat model HL tidak langsung terasa, sementara blunder politik mudah terjadi. Manfaat model ST dirasakan langsung oleh rakyat, efektif membangun dukungan publik awal. |
Potensi Inklusivitas & Pemerataan | Rendah (Risiko Tinggi) | Tinggi (Risiko Sedang) | Tanpa kebijakan afirmatif yang kuat, model HL berisiko menciptakan enclave economy dan memperlebar kesenjangan. Model ST secara inheren lebih inklusif, namun berisiko menciptakan ketergantungan. |
4.2 Kesimpulan Akhir: Paradoks Pembangunan dan Jalan Hibrida
Analisis komparatif ini mengungkap sebuah paradoks fundamental dalam pembangunan daerah di Indonesia Timur. Tidak ada satu pun model yang dapat dianggap sebagai "peluru perak" atau solusi tunggal yang superior secara absolut.
Model Infrastruktur-Sentris Gubernur Lewerissa di Maluku menawarkan potensi transformasi struktural yang sesungguhnya. Ia berani bermimpi untuk membangun fondasi ekonomi yang berbeda, yang tidak bergantung pada ekstraksi sumber daya alam semata. Namun, jalan ini terjal, berisiko tinggi, padat modal, dan secara sosial-politik sangat rentan dalam jangka pendek. Ia berpotensi menciptakan pertumbuhan, namun belum tentu menciptakan pemerataan.
Di sisi lain, Model Pembangunan Manusia Gubernur Tjoanda di Maluku Utara adalah pendekatan yang lebih aman, lebih inklusif, dan secara politik lebih cerdas dalam jangka pendek. Ia berhasil membangun modal sosial dan legitimasi dengan program-program yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat. Namun, model ini berisiko terjebak dalam stagnasi struktural. Ia merawat masyarakatnya dengan pendapatan dari nikel, tetapi tidak membangun tangga bagi masyarakat untuk keluar dari ketergantungan pada industri yang rapuh dan merusak lingkungan.
Kesimpulan utamanya adalah bahwa keberhasilan sejati dalam jangka panjang tidak terletak pada pemilihan salah satu dari dua ekstrem ini, melainkan pada kemampuan untuk menciptakan sebuah pendekatan hibrida. Jalan menuju kemakmuran yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi Maluku dan Maluku Utara menuntut sintesis dari kedua visi tersebut. Gubernur Lewerissa harus secara sadar mengintegrasikan agenda "pembangunan manusia" ke dalam setiap pilar infrastrukturnya. Sebaliknya, Gubernur Tjoanda harus segera menggunakan "legitimasi politik" dan "pendapatan nikel" yang ia miliki saat ini sebagai modal untuk memulai agenda "pembangunan infrastruktur strategis" yang mendukung diversifikasi ekonomi.
4.3 Rekomendasi Kebijakan yang Dapat Ditindaklanjuti
Berdasarkan sintesis dan kesimpulan di atas, berikut adalah rekomendasi kebijakan yang spesifik dan dapat ditindaklanjuti bagi para pemangku kepentingan.
Untuk Pemerintah Provinsi Maluku (Gubernur HL):
- Mandatkan Klausul Pembangunan Inklusif: Setiap persetujuan investasi dan kontrak pembangunan infrastruktur wajib mencakup klausul yang mengikat secara hukum mengenai penyerapan tenaga kerja lokal (dengan target persentase yang jelas), kewajiban pelatihan vokasi bagi masyarakat terdampak, dan program kemitraan dengan UMKM lokal untuk masuk dalam rantai pasok proyek.
- Prioritaskan Infrastruktur Pendukung Ekonomi Biru: Mengingat keterbatasan fiskal, fokuskan alokasi anggaran pada infrastruktur yang memiliki multiplier effect tertinggi bagi ekonomi lokal, yaitu infrastruktur digital (internet berkecepatan tinggi) dan cold chain (gudang pendingin, logistik es) untuk mendukung adopsi teknologi Akuakultur 4.0 dan meningkatkan nilai jual hasil perikanan.
- Diversifikasi Sumber Pendanaan: Secara agresif menjajaki skema pembiayaan kreatif di luar APBN/APBD, seperti Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), obligasi daerah, atau pendanaan dari lembaga multilateral yang fokus pada pembangunan berkelanjutan dan adaptasi iklim.59
Untuk Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Gubernur ST):
- Bentuk "Dana Abadi Nikel" (Nickel Sovereign Wealth Fund): Segera rancang dan sahkan Peraturan Daerah untuk membentuk dana abadi. Sebagian dari pendapatan daerah yang berasal dari industri nikel (pajak dan retribusi) harus dialokasikan ke dana ini. Hasil investasinya dapat digunakan untuk mendanai program sosial (pendidikan, kesehatan) secara berkelanjutan, melepaskan ketergantungan program-program tersebut dari fluktuasi harga nikel tahunan.
- Luncurkan Peta Jalan Diversifikasi Ekonomi 2025-2035: Gunakan momentum politik dan ketersediaan dana saat ini untuk merancang dan memulai implementasi peta jalan diversifikasi ekonomi. Fokuskan investasi pada sektor-sektor potensial di luar tambang, seperti agribisnis (rempah-rempah), pariwisata bahari dan sejarah, serta ekonomi digital. Infrastruktur pendukung untuk sektor-sektor ini harus menjadi prioritas belanja modal.
- Terapkan Kebijakan "Izin untuk Kinerja ESG": Gunakan kewenangan daerah untuk menekan industri nikel agar mematuhi standar Environmental, Social, and Governance (ESG) yang lebih ketat. Perpanjangan izin usaha pertambangan (IUP) dan izin industri harus dikaitkan secara langsung dengan kinerja lingkungan (misalnya, tingkat polusi, progres reklamasi) dan sosial (misalnya, tingkat penyerapan tenaga kerja lokal, program pengembangan masyarakat) yang terukur dan diaudit secara independen.
Untuk Pemerintah Pusat (Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri):
- Desain Ulang Skema Dana Transfer ke Daerah (TKD): Pertimbangkan untuk mereformulasi sebagian alokasi TKD (misalnya, Dana Insentif Daerah) agar memberikan insentif fiskal yang lebih besar bagi daerah yang berhasil meningkatkan PAD secara inovatif, menunjukkan perbaikan tata kelola (indeks SPBE dan Reformasi Birokrasi), dan mencapai target-target pembangunan berkelanjutan (penurunan stunting, perbaikan kinerja ESG).
- Fasilitasi Transfer Teknologi dan Pengetahuan: Secara proaktif memfasilitasi transfer teknologi kunci seperti Akuakultur 4.0 dan teknologi energi terbarukan ke daerah-daerah berbasis sumber daya alam. Ini dapat dilakukan melalui kemitraan antara lembaga riset nasional (BRIN), universitas, dan pemerintah daerah.
- Perkuat Pengawasan dan Penegakan Hukum Lingkungan: Memperkuat kapasitas dan independensi lembaga pengawas lingkungan di tingkat pusat dan daerah untuk memastikan bahwa dampak lingkungan dan sosial dari Proyek Strategis Nasional (PSN) dan industri ekstraktif lainnya benar-benar dimitigasi, dan sanksi yang tegas diterapkan bagi pelanggar.
Paradigma Pembangunan di Maluku dan Maluku Utara (Proyeksi 2025-2035) | E.G. Muskitta
Laporan Analitis Komparatif: Paradigma Pembangunan di Maluku dan Maluku Utara (Proyeksi 2025-2035)
Abstrak Eksekutif
Laporan ini menyajikan analisis komparatif multi-horison yang mendalam terhadap dua paradigma pembangunan yang kontras di Indonesia Timur. Analisis ini berlatar pada pertengahan tahun 2025, di tengah kebijakan kontraksi fiskal nasional yang menekan dana transfer ke daerah. Fokus utama adalah pada kepemimpinan baru di Provinsi Maluku, di bawah Gubernur Hendrik Lewerissa (HL) dengan model "Arsitek Makro Infrastruktur-Sentris," dan Provinsi Maluku Utara, di bawah Gubernur Sherly Tjoanda (ST) dengan model "Inisiator Pembangunan Manusia Berbasis Komunitas."
Temuan Jangka Pendek (Juni 2025): Model pembangunan Gubernur Tjoanda menunjukkan keunggulan signifikan dalam membangun legitimasi politik awal. Hal ini tercermin dari simulasi Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) yang lebih tinggi, didorong oleh program sosial populis yang menyentuh langsung kebutuhan dasar masyarakat, seperti intervensi stunting dan program beasiswa. Kebijakan ini bersifat konkret, cepat dirasakan, dan mudah dikomunikasikan, sehingga efektif dalam menggalang dukungan publik. Sebaliknya, model Gubernur Lewerissa menghadapi tantangan legitimasi yang berat. Visi infrastruktur jangka panjangnya terhambat oleh dampak langsung pemotongan anggaran dari pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah oleh blunder politik (isu fiksional renovasi rumah dinas) yang menciptakan persepsi kesenjangan antara prioritas elite dengan kesulitan rakyat, yang pada akhirnya menekan tingkat kepuasan publik.
Proyeksi Jangka Panjang (2030-2035): Masing-masing model mengandung potensi keberhasilan sekaligus risiko kegagalan yang fundamental. Model HL di Maluku, meskipun dalam jangka pendek kurang populer dan berisiko tinggi menciptakan "ekonomi kantong" (enclave economy) serta degradasi lingkungan, memiliki potensi transformatif struktural. Jika berhasil mengintegrasikan ekonomi lokal dan didukung oleh teknologi seperti Akuakultur 4.0, model ini dapat secara fundamental mengatasi "Kutukan Sumber Daya Alam" dengan membangun fondasi ekonomi non-ekstraktif yang berkelanjutan. Di sisi lain, model ST di Maluku Utara, meskipun dalam jangka pendek berhasil meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan membangun modal sosial, berisiko menjadi "program paliatif." Program-programnya, yang didanai oleh rente dari industri nikel, tidak secara inheren mengubah ketergantungan struktural provinsi terhadap sektor ekstraktif yang sangat volatil dan rentan terhadap disrupsi teknologi baterai global (misalnya, kebangkitan baterai LFP dan Sodium-Ion).
Kesimpulan Inti: Analisis ini menyimpulkan bahwa tidak ada model yang superior secara absolut. Keduanya menghadapi kesenjangan implementasi (policy-implementation gap) yang signifikan dan tantangan terhadap kapasitas negara (state capacity). Keberhasilan jangka panjang akan sangat bergantung pada kemampuan masing-masing pemimpin untuk mengadopsi elemen-elemen krusial dari model lawan, menciptakan sebuah pendekatan hibrida yang menyeimbangkan pembangunan infrastruktur fisik dengan investasi pada modal manusia.
Rekomendasi Utama: Untuk Provinsi Maluku, direkomendasikan untuk memperkuat klausul inklusivitas sosial dan lingkungan dalam setiap perencanaan dan kontrak proyek infrastruktur, serta memprioritaskan infrastruktur digital pendukung ekonomi biru. Untuk Provinsi Maluku Utara, direkomendasikan untuk segera merancang dan mengimplementasikan peta jalan diversifikasi ekonomi yang didanai dari pendapatan nikel, misalnya melalui pembentukan dana abadi (sovereign wealth fund), sebagai langkah mitigasi strategis terhadap risiko transisi energi global dan volatilitas harga komoditas.
1. Pendahuluan: Dua Visi di Persimpangan Jalan Pembangunan Indonesia Timur
1.1 Konteks Krisis: Kontraksi Fiskal Nasional dan Imperatif Pembangunan Daerah
Pada pertengahan tahun 2025, lanskap ekonomi-politik Indonesia berada dalam fase yang menantang. Pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah mengimplementasikan kebijakan kontraksi fiskal yang ketat, sebuah langkah yang diperlukan untuk menjaga stabilitas makroekonomi nasional. Kebijakan ini mencakup efisiensi anggaran secara masif, dengan target pemangkasan belanja hingga Rp 306,6 triliun. Komponen signifikan dari penghematan ini berasal dari pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD), yang ditargetkan mencapai Rp 50,5 triliun.1
Bagi provinsi-provinsi di Indonesia, terutama yang memiliki ketergantungan tinggi pada dana pusat, kebijakan ini menciptakan guncangan fiskal yang hebat. Provinsi Maluku, secara khusus, diproyeksikan menjadi salah satu daerah yang paling terpukul. Estimasi dari kalangan politik lokal menyebutkan potensi pemotongan anggaran bisa mencapai Rp 3 triliun.2 Konsekuensi dari pemotongan ini sangat serius: program-program pembangunan, terutama yang bersifat padat modal seperti infrastruktur, terancam tertunda atau bahkan dibatalkan. Hal ini berpotensi memicu efek domino berupa perlambatan pertumbuhan ekonomi lokal, peningkatan angka pengangguran, dan pemburukan tingkat kemiskinan.2 Konteks krisis ini menjadi latar belakang yang krusial, menciptakan tekanan luar biasa bagi para pemimpin daerah yang baru terpilih untuk membuktikan efektivitas model pembangunan mereka dalam kondisi sumber daya yang semakin terbatas dan menuntut inovasi dalam tata kelola pemerintahan.
1.2 Premis Analisis: Arsitek Infrastruktur (HL) vs. Inisiator Manusia (ST)
Di tengah turbulensi fiskal inilah, dua provinsi kepulauan di gerbang timur Indonesia, Maluku dan Maluku Utara, memulai babak baru di bawah kepemimpinan gubernur yang mengusung paradigma pembangunan yang secara fundamental berbeda. Analisis ini berpegang pada premis fiksional untuk mempertajam perbandingan dua pendekatan tersebut:
- Gubernur Hendrik Lewerissa (HL) di Provinsi Maluku diidentifikasi sebagai arketipe "Arsitek Makro Infrastruktur-Sentris." Visi pembangunannya berakar pada keyakinan bahwa fondasi kemajuan ekonomi terletak pada pembangunan infrastruktur fisik skala besar. Prioritasnya adalah proyek-proyek strategis seperti pelabuhan modern, jembatan antarpulau, dan jalan arteri untuk membuka isolasi wilayah dan secara drastis menurunkan biaya logistik yang tinggi di provinsi kepulauan. Logika ini sejalan dengan pendekatan pembangunan nasional seperti Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan Proyek Strategis Nasional (PSN), yang bertujuan menciptakan konektivitas sebagai katalisator untuk membuka potensi ekonomi laten, khususnya di sektor perikanan (Lumbung Ikan Nasional) dan agrikultur.4
- Gubernur Sherly Tjoanda (ST) di Provinsi Maluku Utara diidentifikasi sebagai arketipe "Inisiator Pembangunan Manusia Berbasis Komunitas." Paradigma pembangunannya memprioritaskan investasi pada modal manusia sebagai prasyarat utama untuk pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif. Fokus kebijakannya diarahkan pada program-program yang menyentuh langsung denyut nadi masyarakat. Ini mencakup intervensi gizi untuk penanganan stunting, program beasiswa pendidikan yang masif untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), serta inisiatif pemberdayaan ekonomi komunitas di tingkat desa.7 Tujuannya adalah membangun fondasi masyarakat yang sehat, cerdas, dan berdaya saing sebelum mengejar target-target ekonomi makro.
Dua visi yang diametral ini menyediakan sebuah laboratorium alami untuk menganalisis pertaruhan strategis dalam pembangunan daerah di Indonesia.
1.3 Landasan Teoritis: Menavigasi Kutukan Sumber Daya, Kapasitas Negara, Kesenjangan Implementasi, dan Legitimasi Politik di Kepulauan Maluku
Untuk menghasilkan analisis yang holistik dan mendalam, laporan ini dibingkai oleh empat konsep teoretis utama dalam ilmu politik dan ekonomi pembangunan:
- Kutukan Sumber Daya Alam (Resource Curse): Konsep ini sangat relevan untuk kedua provinsi, namun dengan manifestasi yang berbeda. Maluku Utara, dengan kekayaan nikelnya yang melimpah, adalah studi kasus klasik dari potensi kutukan ini. Pertumbuhan ekonominya yang meroket didorong hampir sepenuhnya oleh industri ekstraktif.10 Analisis akan mengeksplorasi apakah model pembangunan ST hanya menikmati rente nikel untuk mendanai program sosial tanpa mengubah struktur ekonomi yang rapuh, ataukah ia mampu meletakkan dasar untuk diversifikasi. Isu-isu seperti pencemaran lingkungan yang parah di Halmahera, termasuk kerusakan perairan dan peningkatan kasus ISPA, akan dianalisis sebagai manifestasi nyata dari kutukan ini.11 Sementara itu, Maluku, dengan potensi perikanan dan pertaniannya, secara teoretis berupaya menghindari jebakan ini melalui model HL yang bertujuan membangun ekonomi non-ekstraktif.
- Kapasitas Negara (State Capacity): Ini merujuk pada kemampuan aparatur negara untuk secara efektif merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan. Dalam laporan ini, kapasitas negara akan diukur melalui serangkaian indikator proksi: kemampuan pemerintah daerah (pemda) untuk menyerap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara efisien 14, keberhasilan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai sumber pembiayaan mandiri 16, serta progres dalam implementasi reformasi birokrasi, terutama melalui Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE).18
- Kesenjangan Implementasi Kebijakan (Policy-Implementation Gap): Kerangka ini menyoroti jurang yang sering terjadi antara visi besar seorang pemimpin dan realitas pahit di lapangan. Visi infrastruktur HL yang megah, misalnya, akan dihadapkan pada kenyataan pemotongan anggaran dari pusat 2 dan tantangan birokrasi yang kompleks.20 Demikian pula, program-program sosial ST, meskipun dirancang dengan baik, bisa jadi tidak efektif jika implementasinya di tingkat desa lemah atau sasarannya tidak tepat.
- Legitimasi Politik (Political Legitimacy): Legitimasi adalah persepsi publik bahwa otoritas seorang pemimpin dan kebijakannya adalah sah dan pantas untuk didukung. Legitimasi ini akan dievaluasi, salah satunya, melalui simulasi Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM). Analisis akan menunjukkan bagaimana kebijakan populis ST yang menyentuh kebutuhan dasar berpotensi membangun legitimasi jangka pendek yang kuat.21 Sebaliknya, kebijakan HL yang manfaatnya tidak langsung terasa, ditambah dengan potensi blunder politik, dapat dengan cepat menggerus legitimasi yang baru ia peroleh pasca-pilkada.23
Keempat lensa teoretis ini akan digunakan secara terintegrasi untuk membedah kinerja jangka pendek dan memproyeksikan viabilitas jangka panjang dari kedua model pembangunan yang saling bersaing ini.
2. Analisis Kinerja Jangka Pendek (Rapor Kinerja Triwulan II 2025)
Bagian ini mengevaluasi kinerja aktual kedua pemerintahan provinsi dari awal masa jabatan hingga Juni 2025. Evaluasi ini menggunakan analisis PESTEL untuk memetakan lingkungan makro dan kerangka Balanced Scorecard untuk mengukur kinerja secara seimbang.
2.1 Peta Lingkungan Makro (Analisis PESTEL)
Lingkungan makro pada pertengahan 2025 menghadirkan serangkaian tantangan dan peluang yang berbeda bagi Maluku dan Maluku Utara.
- Politik (Political): Di kedua provinsi, stabilitas politik pasca-Pilkada 2024 tampak relatif terjaga. Aparat keamanan secara proaktif menjalankan program "cooling system" untuk meredakan ketegangan dan menjaga harmoni di tengah perbedaan pandangan politik.25 Namun, ujian sesungguhnya terletak pada dinamika hubungan antara eksekutif dan legislatif (DPRD). Di Maluku Utara, proses transisi kekuasaan berjalan lancar, ditandai dengan penyerahan dokumen gubernur terpilih ke Kemendagri tanpa hambatan berarti dan agenda rapat paripurna DPRD yang berjalan sesuai jadwal.27 Hal ini mengindikasikan hubungan kerja awal yang fungsional antara Gubernur ST dan DPRD. Sebaliknya, di Maluku, Gubernur HL menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Koalisi pendukungnya di DPRD akan diuji loyalitas dan efektivitasnya dalam menghadapi ancaman pemotongan anggaran pusat yang secara langsung mengancam program andalannya, yaitu pembangunan infrastruktur.
- Ekonomi (Economic): Faktor ekonomi dominan yang memengaruhi kedua provinsi adalah kontraksi fiskal nasional. Maluku menghadapi tekanan paling berat dengan proyeksi pemotongan anggaran hingga Rp 3 triliun, yang memaksa pemerintah provinsi untuk melakukan penghematan drastis dan meninjau ulang prioritas belanja.2 Maluku Utara, di sisi lain, tampak lebih beruntung karena pertumbuhan ekonominya yang didorong oleh industri nikel.10 Namun, provinsi ini tidak kebal terhadap gejolak eksternal. Harga nikel global menunjukkan tren penurunan pada Juni 2025, dari US$ 15.405 menjadi US$ 15.221 per dmt, akibat surplus pasokan global yang ironisnya dipicu oleh peningkatan produksi dari Indonesia sendiri.29 Dari sisi inflasi, Maluku mencatat inflasi tahunan (y-on-y) sebesar 1,88% pada Juni 2025, yang terutama dipicu oleh kenaikan harga komoditas pangan seperti ikan dan cabai.31 Sementara itu, Maluku Utara mencatat inflasi yang jauh lebih rendah pada Februari 2025, yaitu sebesar 0,16% (y-on-y).33
- Sosial (Social): Sentimen publik dan isu-isu sosial menjadi arena utama perebutan legitimasi. Di Maluku, data dari Ombudsman RI menunjukkan lonjakan signifikan laporan pengaduan dari masyarakat pada Triwulan I 2025, mengindikasikan adanya ketidakpuasan yang meluas terhadap kualitas pelayanan publik.23 Ini menjadi kerentanan besar bagi pemerintahan HL. Isu stunting menjadi medan pertempuran kebijakan yang krusial. Prevalensi stunting di Maluku yang masih tinggi di angka 28,4% 34 menjadikannya isu yang sangat sensitif. Di Maluku Utara, di mana prevalensi stunting berhasil diturunkan menjadi 23,7% pada 2023 36, kebijakan Gubernur ST yang secara agresif menargetkan isu ini akan mendapatkan resonansi publik yang sangat positif dan memperkuat citranya sebagai pemimpin yang peduli.
- Teknologi (Technological): Kedua provinsi sama-sama menghadapi tantangan dalam akselerasi transformasi digital. Di Maluku, Gubernur HL menunjukkan kesadaran akan urgensi ini dengan secara proaktif menggelar pertemuan bersama Telkomsel untuk membahas digitalisasi layanan dan mengatasi masalah daerah blankspot.37 Namun, tantangan struktural yang umum di Indonesia Timur—seperti keterbatasan SDM dengan kompetensi TIK dan infrastruktur jaringan yang belum merata—tetap menjadi penghalang utama bagi implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang efektif.20 Maluku Utara, yang menargetkan peningkatan indeks SPBE-nya 39, juga tidak luput dari kendala serupa.
- Lingkungan (Environmental): Isu lingkungan menjadi pembeda paling tajam antara kedua provinsi. Maluku Utara menghadapi krisis ekologis yang akut dan semakin memburuk akibat ekspansi industri pertambangan dan pengolahan nikel. Laporan investigatif dari organisasi seperti WALHI dan Mongabay secara gamblang mendokumentasikan dampak destruktif ini: pencemaran perairan Teluk Weda dan Pulau Obi oleh limbah tambang, deforestasi masif yang memicu banjir bandang, dan peningkatan tajam kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di sekitar kawasan industri akibat polusi udara dari PLTU captive.11 Ini adalah "bom waktu" sosial dan ekologis bagi pemerintahan ST, yang model pembangunannya belum secara langsung menjawab atau memitigasi dampak dari pilar ekonomi utama provinsinya. Maluku, untuk saat ini, menghadapi isu lingkungan yang lebih sporadis dan belum mencapai skala krisis seperti di provinsi tetangganya.
- Hukum (Legal): Efektivitas penegakan hukum dan implementasi Peraturan Daerah (Perda) menjadi tolok ukur kapasitas tata kelola. Studi umum menunjukkan bahwa efektivitas Perda seringkali lemah pada tataran implementasi, di mana peraturan yang baik di atas kertas gagal menghasilkan perubahan di lapangan.40 Bagi kedua pemerintahan, setiap kebijakan baru yang digulirkan—baik itu terkait perizinan investasi infrastruktur di Maluku maupun mekanisme penyaluran bantuan sosial di Maluku Utara—memiliki potensi menghadapi gugatan hukum atau sengketa jika tidak dirancang dengan cermat, tidak selaras dengan peraturan yang lebih tinggi, atau dianggap merugikan kelompok masyarakat tertentu.
2.2 Rapor Kinerja Pemerintah Daerah (Analisis Balanced Scorecard)
Kerangka Balanced Scorecard (BSC) digunakan untuk memberikan penilaian kinerja yang seimbang, melampaui sekadar metrik keuangan, dan mencakup perspektif masyarakat, tata kelola internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan.
Perspektif Keuangan (Financial)
Pemerintahan HL di Maluku memulai masa jabatannya di bawah tekanan fiskal yang luar biasa. Meskipun Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2024 berhasil meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK untuk keenam kalinya secara berturut-turut 15, prestasi ini mencerminkan kepatuhan akuntansi di masa lalu dan bukan merupakan jaminan kinerja di tengah krisis yang membayangi. Realisasi pendapatan APBD 2024 yang mencapai 94,18% dari target 15 akan sulit dipertahankan mengingat proyeksi pemotongan TKD yang signifikan pada 2025.2 Dengan kondisi ini, kemampuan HL untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur andalannya akan sangat terbatas. Oleh karena itu, upaya inovatif untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)—yang pada 2024 terealisasi sebesar Rp 652,24 miliar 15—menjadi sebuah keharusan mutlak. Strategi seperti digitalisasi layanan pajak dan retribusi daerah serta optimalisasi aset menjadi kunci untuk bertahan.17
Di Maluku Utara, posisi keuangan Gubernur ST di permukaan tampak lebih solid berkat windfall dari industri nikel. Realisasi APBD 2024 dilaporkan mencapai 92,45%.14 Namun, di balik angka tersebut, terdapat tanda-tanda kerapuhan. Laporan mengindikasikan adanya tren "pendapatan turun, belanja terkontraksi," yang menandakan tantangan dalam pengelolaan anggaran.45 Lebih mengkhawatirkan lagi adalah catatan dari BPK. Provinsi ini menerima opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) untuk LKPD 2022 dan 2023 46, dan LHP 2024 menyoroti temuan signifikan terkait realisasi belanja barang yang tidak disertai dokumen pertanggungjawaban yang memadai senilai miliaran rupiah.47 Ini menunjukkan kelemahan fundamental dalam kapasitas negara di bidang pengelolaan keuangan, sebuah risiko tata kelola yang serius bagi pemerintahan ST meskipun potensi PAD-nya lebih besar.
Perspektif Masyarakat/Pelanggan (Customer)
Analisis ini menyimulasikan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) untuk kedua gubernur, yang hasilnya menunjukkan perbedaan mencolok dalam kemampuan membangun legitimasi politik awal.
IKM Gubernur ST di Maluku Utara disimulasikan berada pada level "Baik" (nilai konversi 80-85). Skor tinggi ini didorong oleh kebijakan-kebijakan populis yang cerdas dan menyentuh langsung kebutuhan dasar masyarakat. Program beasiswa "Maluku Utara Bangkit" yang menggandeng 27 perguruan tinggi 7 dan program intervensi stunting yang agresif 8 adalah contoh kebijakan yang sangat efektif dalam membangun persepsi positif. Program-program ini bersifat tangible (nyata), manfaatnya dirasakan langsung oleh keluarga, dan mudah dikomunikasikan melalui media. Studi kasus tentang program bantuan sosial di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun efektivitas jangka panjangnya bisa diperdebatkan, program semacam ini cenderung diterima dengan sangat baik oleh publik dan meningkatkan kepuasan terhadap pemerintah.21
Sebaliknya, IKM Gubernur HL di Maluku disimulasikan berada pada level "Cukup" (nilai konversi 65-70). Skor yang lebih rendah ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, visi infrastrukturnya bersifat jangka panjang dan manfaatnya tidak langsung dirasakan oleh masyarakat dalam waktu singkat. Kedua, di tengah kontraksi fiskal, penundaan atau pembatalan proyek yang telah dijanjikan akan menimbulkan kekecewaan publik. Ketiga, isu fiksional "renovasi rumah dinas" di tengah kesulitan ekonomi rakyat akan menjadi pemicu sentimen negatif yang sangat kuat. Isu semacam ini, sebagaimana dianalisis dalam studi sentimen, dapat secara signifikan merusak citra pemerintah dan menurunkan tingkat kepercayaan.22 Persepsi ini diperkuat oleh data riil tentang lonjakan jumlah keluhan masyarakat terhadap pelayanan publik di Maluku yang dilaporkan ke Ombudsman.23 Kombinasi faktor-faktor ini menciptakan citra pemerintahan yang dianggap tidak peka dan berjarak dari rakyat, yang secara signifikan menekan IKM-nya.
Perspektif Proses Bisnis Internal (Internal Governance)
Efisiensi birokrasi merupakan kunci untuk menjembatani kesenjangan antara visi dan implementasi. Salah satu langkah awal yang lazim dilakukan oleh kepala daerah baru adalah mutasi pejabat. Kebijakan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Jika dilakukan secara strategis untuk menempatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang kompeten pada posisi yang tepat (the right person in the right place), mutasi dapat mendorong motivasi, inovasi, dan peningkatan kinerja organisasi.49 Namun, jika mutasi didominasi oleh pertimbangan politik balas budi, hal ini justru akan merusak moral, menciptakan resistensi pasif dalam birokrasi, dan memperlebar policy-implementation gap.
Implementasi SPBE menjadi proksi modern untuk mengukur kapasitas dan modernisasi birokrasi. Maluku Utara, meskipun memiliki target ambisius untuk meraih predikat "Baik" pada 2024 18, data evaluasi SPBE tahun 2023 menunjukkan indeksnya masih berada di level "Cukup" dengan skor 2,49.19 Ini mengindikasikan adanya ruang perbaikan yang signifikan, terutama di domain manajemen SPBE seperti arsitektur sistem.39 Maluku, dengan tantangan geografis yang lebih berat dan masih adanya daerah blankspot 37, kemungkinan besar menghadapi tantangan implementasi SPBE yang setara atau bahkan lebih besar, meskipun beberapa pemerintah kabupatennya telah memiliki Perda tentang SPBE.52 Keterbatasan umum di Indonesia Timur, seperti kurangnya SDM TIK dan infrastruktur yang belum merata, menjadi penghambat bagi kedua administrasi.20
Perspektif Pembelajaran & Pertumbuhan (Learning & Growth)
Aspek ini mengukur investasi pemerintah daerah pada fondasi masa depannya: kapasitas aparatur dan kolaborasi berbasis pengetahuan. Kedua provinsi menunjukkan kesadaran akan pentingnya peningkatan kapasitas ASN. Di Maluku Utara, Pemprov secara aktif berkolaborasi dengan BPSDMP Kominfo Manado untuk menyelenggarakan pelatihan digital Government Transformation Academy (GTA) bagi puluhan ASN.53 Di Maluku, komitmen ini terlihat dari langkah cepat menindaklanjuti kebijakan pusat seperti Work From Anywhere (WFA) 54 dan upaya serius dalam penyusunan RPJPD 2025-2045 yang menuntut ASN berkualitas.55 Inisiatif seperti penandatanganan pakta integritas untuk meraih predikat Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) di lingkungan Kanwil Kemenkumham Maluku juga mencerminkan adanya dorongan untuk peningkatan kapasitas.56
Kolaborasi dengan universitas dan lembaga riset menjadi indikator kunci bagi inovasi kebijakan. Di sini, Maluku Utara tampak lebih proaktif. Gubernur ST tidak hanya meneken MoU beasiswa dengan 27 kampus 7, tetapi juga melanjutkan tradisi kerja sama yang telah terjalin antara Pemprov/Polda dengan Universitas Khairun (Unkhair) dalam berbagai bidang, termasuk program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).57 Maluku juga menunjukkan adanya kolaborasi, misalnya melalui kemitraan antara IIGF Institute, Universitas Pattimura, dan pemerintah dalam riset pembiayaan infrastruktur.59 Namun, kedalaman, frekuensi, dan hasil nyata dari kolaborasi inilah yang akan menjadi pembeda dalam kapasitas kedua pemerintahan untuk merumuskan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy).
Tabel 2: Dasbor Komparatif Balanced Scorecard (BSC) - Kinerja Triwulan II 2025
Perspektif BSC | Indikator Kunci | Provinsi Maluku (Gubernur HL) | Provinsi Maluku Utara (Gubernur ST) | Analisis Singkat |
Keuangan | Realisasi Belanja APBD 2024 | 93.95% 15 | 92.45% 14 | Keduanya menunjukkan penyerapan yang baik, namun kinerja masa lalu ini dibayangi oleh tantangan fiskal 2025. |
Pertumbuhan PAD | Terancam stagnan akibat kontraksi ekonomi. | Berpotensi tinggi namun bergantung pada volatilitas nikel. | HL harus berinovasi untuk PAD, sementara ST menghadapi risiko dari sumber PAD utamanya. | |
Opini BPK (LKPD 2024) | Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) 42 | Wajar Dengan Pengecualian (WDP) (berdasarkan tren 2022-2023) & Temuan Signifikan 46 | Maluku menunjukkan kepatuhan akuntansi yang lebih baik, sementara Malut memiliki risiko tata kelola keuangan yang lebih tinggi. | |
Masyarakat | Simulasi Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) | Cukup (Skor Konversi: 65-70) | Baik (Skor Konversi: 80-85) | Program sosial ST yang populis dan tangible efektif membangun kepuasan publik jangka pendek. |
Sentimen Publik Dominan | Negatif (dipicu blunder kebijakan & dampak kontraksi fiskal) 23 | Positif (didorong program pro-rakyat) 21 | ST memenangkan "pertempuran persepsi" di awal masa jabatan. | |
Prevalensi Stunting | Tinggi (28.4%) 34 | Menurun (23.7% di 2023) 36 | Isu stunting menjadi keunggulan komparatif bagi ST dan kerentanan bagi HL. | |
Tata Kelola Internal | Indeks SPBE (berdasarkan data 2023) | Cukup (estimasi setara/di bawah Malut) | Cukup (2.49) 19 | Kedua provinsi menghadapi tantangan struktural dalam digitalisasi pemerintahan. |
Efektivitas Mutasi Pejabat | Risiko Tinggi Politisasi | Risiko Tinggi Politisasi | Sebagai gubernur baru, keduanya rentan menggunakan mutasi untuk konsolidasi politik, bukan meritokrasi. | |
Pembelajaran & Pertumbuhan | Program Peningkatan Kapasitas ASN | Ada (WFA, Target WBBM) 54 | Ada (Pelatihan Digital GTA) 53 | Keduanya menunjukkan komitmen, namun skala dan dampak program perlu dievaluasi lebih lanjut. |
Kolaborasi dengan Universitas | Ada (Riset Infrastruktur) 59 | Intensif (Program Beasiswa, MBKM) 7 | Maluku Utara menunjukkan tingkat kolaborasi yang lebih terstruktur dan masif dengan dunia akademik. |
3. Proyeksi & Analisis Strategis Jangka Panjang (Visi 2030-2035)
Bagian ini mengalihkan fokus dari evaluasi kinerja saat ini ke analisis strategis untuk memproyeksikan viabilitas, dampak, dan keberlanjutan dari masing-masing model pembangunan dalam horizon waktu 5 hingga 10 tahun ke depan.
3.1 Posisi dan Arah Strategis (Analisis SWOT)
Analisis SWOT ini tidak berfokus pada figur personal gubernur, melainkan pada kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang melekat pada masing-masing model pembangunan itu sendiri.
Model HL (Infrastruktur-Sentris - Maluku):
- Strengths (Kekuatan): Kekuatan utama model ini terletak pada potensinya untuk menciptakan perubahan struktural yang fundamental. Dengan membuka isolasi wilayah, biaya logistik dapat ditekan secara signifikan, yang pada gilirannya meningkatkan daya saing produk-produk lokal. Visi ini memiliki daya tarik yang kuat bagi investor skala besar yang membutuhkan kepastian konektivitas dan infrastruktur pendukung. Jika berhasil, model ini dapat menciptakan multiplier effect ekonomi yang luas dalam jangka panjang.
- Weaknesses (Kelemahan): Kelemahan paling fatal adalah kebutuhan modal yang sangat besar, membuatnya sangat rentan terhadap guncangan fiskal seperti kontraksi anggaran nasional saat ini. Manfaat dari proyek infrastruktur bersifat tidak langsung dan membutuhkan waktu lama untuk dirasakan oleh masyarakat luas, menciptakan risiko defisit legitimasi politik. Selain itu, proyek-proyek besar selalu dibayangi risiko kegagalan konstruksi (proyek mangkrak) dan potensi korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa.
- Opportunities (Peluang): Peluang terbesar adalah sinergi dengan agenda pembangunan nasional, seperti program Lumbung Ikan Nasional (LIN). Peningkatan konektivitas pelabuhan dan darat dapat memicu ledakan pertumbuhan di sektor perikanan, akuakultur, dan pariwisata bahari, yang merupakan kekuatan ekonomi intrinsik Maluku.
- Threats (Ancaman): Ancaman utama bersifat eksternal dan struktural. Perubahan iklim, khususnya kenaikan permukaan air laut, dapat merusak atau bahkan menenggelamkan infrastruktur pesisir yang dibangun dengan biaya mahal.60 Perubahan konstelasi politik nasional pasca-pemilu dapat menghentikan aliran pendanaan dari pusat. Risiko paling signifikan adalah terciptanya "ekonomi kantong" (enclave economy), di mana infrastruktur canggih hanya melayani kepentingan segelintir industri besar tanpa memberikan manfaat berarti bagi ekonomi rakyat sekitar, sebuah pola yang sering terlihat dalam proyek-proyek skala besar di daerah kaya sumber daya.62
Model ST (Pembangunan Manusia - Maluku Utara):
- Strengths (Kekuatan): Kekuatan model ini adalah kemampuannya membangun modal sosial dan legitimasi politik yang kuat dengan cepat. Dampak programnya dirasakan langsung oleh masyarakat, menciptakan ikatan emosional dan dukungan publik yang solid. Secara finansial, biaya per program (misalnya, beasiswa, PMT stunting) relatif lebih rendah dan lebih fleksibel dibandingkan proyek infrastruktur, sehingga lebih tahan terhadap pemotongan anggaran skala kecil. Secara terukur, model ini akan secara langsung meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
- Weaknesses (Kelemahan): Skalabilitas dan dampak ekonomi jangka panjang dari program-program ini masih dipertanyakan. Model ini berisiko menciptakan mentalitas ketergantungan pada bantuan sosial dan tidak secara langsung mengatasi masalah fundamental ekonomi provinsi, yaitu ketergantungan ekstrem pada industri ekstraktif nikel.64 Tanpa penciptaan lapangan kerja baru yang masif, investasi pada SDM bisa berakhir dengan
brain drain. - Opportunities (Peluang): Peluang strategisnya adalah menciptakan fondasi SDM yang unggul. Jika berhasil, generasi yang lebih sehat dan terdidik dapat menjadi motor bagi diversifikasi ekonomi di masa depan, beralih ke sektor jasa, ekonomi kreatif, dan teknologi informasi, yang tidak terlalu bergantung pada eksploitasi sumber daya alam.
- Threats (Ancaman): Ancaman terbesar adalah ketidakberlanjutan finansial. Seluruh model ini secara implisit didanai oleh pendapatan dari industri nikel. Ketergantungan ini membuat program-program sosial ST sangat rapuh terhadap dua disrupsi besar: volatilitas harga komoditas nikel di pasar global 30 dan, yang lebih fundamental, disrupsi teknologi baterai. Kebangkitan baterai non-nikel seperti Lithium Ferro-Phosphate (LFP) dan Sodium-Ion (Na-ion) merupakan ancaman eksistensial bagi masa depan industri nikel Maluku Utara.66
3.2 Proyeksi Tren dan Tantangan Masa Depan (Analisis PESTEL Jangka Panjang)
Analisis PESTEL jangka panjang memproyeksikan tren-tren besar yang akan membentuk ulang lanskap pembangunan di kedua provinsi hingga dekade berikutnya.
- Politik: Perubahan sistem pemilu pada 2029, di mana pemilu nasional dan pilkada diselenggarakan terpisah 68, serta potensi penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 69, diperkirakan akan meningkatkan fragmentasi politik di tingkat nasional.
Implikasinya, hubungan pusat-daerah bisa menjadi lebih transaksional dan kurang stabil. Dukungan anggaran dari pemerintah pusat untuk proyek-proyek strategis daerah akan sangat bergantung pada afiliasi politik gubernur dengan koalisi yang berkuasa. Ini merupakan ancaman serius bagi model HL di Maluku yang sangat bergantung pada pendanaan pusat untuk proyek infrastrukturnya. - Ekonomi: Transisi energi global adalah disrupsi ekonomi terbesar yang akan dihadapi kawasan ini. Meskipun permintaan nikel untuk baterai kendaraan listrik (EV) diperkirakan tetap menjadi mineral penting hingga 2035 71, kemunculan dan adopsi cepat teknologi baterai alternatif yang tidak menggunakan nikel, seperti LFP dan Sodium-Ion, adalah ancaman yang tidak bisa diabaikan.72 Baterai LFP sudah menggerus pasar, sementara baterai Sodium-Ion yang lebih murah dan melimpah bahan bakunya sedang dalam pengembangan pesat.72
Implikasinya, model ekonomi Maluku Utara yang bertumpu 100% pada nikel sangat rapuh. Jika tren baterai non-nikel ini terus menguat, Maluku Utara berisiko mengalami de-industrialisasi dan krisis fiskal yang parah dalam 5-10 tahun ke depan, yang akan membuat model pembangunan manusia ST menjadi tidak berkelanjutan secara finansial. - Sosial: Tren investasi global yang semakin menekankan aspek Environmental, Social, and Governance (ESG) akan menjadi norma.76 Investor dan pasar internasional, terutama di Eropa, akan menuntut standar keberlanjutan yang lebih tinggi dari rantai pasok mereka.80
Implikasinya, industri nikel di Maluku Utara, yang saat ini memiliki rekam jejak lingkungan dan sosial yang buruk (deforestasi, polusi, konflik sosial) 11, akan menghadapi tekanan yang luar biasa. Perusahaan akan dipaksa untuk berinvestasi lebih besar pada mitigasi dampak lingkungan dan program sosial, yang dapat menekan margin keuntungan. Ini adalah pedang bermata dua: mendorong praktik yang lebih baik, tetapi juga berpotensi mengurangi sumber pendapatan provinsi yang mendanai program-program ST. - Teknologi: Revolusi Akuakultur 4.0, yang mengintegrasikan Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), sensor pemantau kualitas air, dan sistem manajemen tambak cerdas, menawarkan peluang transformasional bagi sektor perikanan budidaya.81 Teknologi ini memungkinkan peningkatan produktivitas, efisiensi pakan, dan keberlanjutan secara drastis.
Implikasinya, ini adalah peluang emas bagi model HL di Maluku. Infrastruktur konektivitas fisik dan digital yang ia bangun dapat menjadi fondasi yang sempurna untuk adopsi teknologi ini oleh para pembudidaya ikan dan udang, berpotensi melambungkan Maluku menjadi pemain utama dalam industri akuakultur modern. - Lingkungan: Perubahan iklim bukan lagi isu abstrak, melainkan ancaman eksistensial bagi provinsi kepulauan seperti Maluku dan Maluku Utara.60 Proyeksi ilmiah yang kredibel menunjukkan kenaikan permukaan air laut akan menenggelamkan ribuan pulau kecil di Indonesia pada tahun 2050 dan menyebabkan banjir rob yang semakin sering di kota-kota pesisir.61
Implikasinya, seluruh investasi infrastruktur di wilayah pesisir (inti dari model HL) memiliki risiko kerusakan atau kehilangan yang sangat tinggi. Komunitas pesisir (yang menjadi target program sosial ST) akan menjadi semakin rentan, meningkatkan tekanan pada anggaran bantuan sosial. Kebijakan adaptasi perubahan iklim bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan strategis untuk kelangsungan hidup kedua provinsi. - Hukum: Sejalan dengan tren sosial (ESG), regulasi lingkungan di tingkat global dan nasional akan semakin ketat. Perusahaan tambang dan industri lainnya akan dipaksa untuk mematuhi standar yang lebih tinggi terkait pengelolaan limbah, reklamasi lahan, dan hak-hak masyarakat.80
Implikasinya, ini akan meningkatkan biaya operasional industri nikel di Maluku Utara. Jika penegakan hukum kuat, ini dapat mendorong praktik yang lebih berkelanjutan. Namun, jika lemah, ini hanya akan menjadi regulasi di atas kertas sementara kerusakan terus berlanjut.
3.3 Riset Kebijakan: Analisis Dampak dan Keberlanjutan Model Pembangunan
Analisis ini menggali lebih dalam potensi kegagalan jangka panjang dari masing-masing model dengan membandingkannya dengan pengalaman historis dan kerangka teoritis.
Model HL (Maluku) - Potensi "Ekonomi Kantong" vs. Pembangunan Inklusif
Visi pembangunan infrastruktur-sentris Gubernur Lewerissa, meskipun terdengar logis, mengandung risiko mengulangi kegagalan model pembangunan serupa di masa lalu. Proyek-proyek skala besar seperti MP3EI dan banyak Proyek Strategis Nasional (PSN) sering dikritik karena menciptakan "ekonomi kantong" (enclave economy). Dalam model ini, infrastruktur modern dibangun, namun seringkali hanya untuk melayani kepentingan ekstraksi sumber daya alam atau industri besar, dengan sedikit sekali keterkaitan atau manfaat yang menetes ke bawah (trickle-down effect) bagi ekonomi rakyat.63
Studi evaluasi terhadap MP3EI menunjukkan bahwa pendekatan yang terlalu didorong oleh swasta (private-driven) tanpa kapasitas negara yang memadai untuk mengatur dan memastikan inklusivitas, seringkali berujung pada konflik lahan dan marginalisasi masyarakat lokal.89 Pembangunan infrastruktur di daerah yang kaya sumber daya alam juga terbukti seringkali menimbulkan dampak sosial dan lingkungan negatif yang tidak sepadan dengan manfaat ekonominya bagi penduduk setempat.90
Pertanyaan kritis yang harus dijawab oleh model HL adalah: Apakah ada mekanisme kebijakan yang konkret untuk mencegah terbentuknya enclave economy? Apakah ada program pendamping yang memastikan UMKM lokal dapat mengakses rantai pasok proyek-proyek besar? Apakah ada skema pelatihan dan penyerapan tenaga kerja lokal yang diwajibkan bagi para investor? Tanpa jawaban afirmatif atas pertanyaan-pertanyaan ini, model HL berisiko tinggi hanya akan membangun "jalan tol di atas desa-desa miskin." Ini akan menjadi manifestasi klasik dari Policy-Implementation Gap, di mana visi besar gagal diterjemahkan menjadi kesejahteraan yang merata, dan pada akhirnya gagal membebaskan Maluku dari potensi Kutukan Sumber Daya Alam.
Model ST (Maluku Utara) - "Program Paliatif" vs. Transformasi Struktural
Model pembangunan manusia Gubernur Tjoanda, yang dipuji karena inklusivitas dan kemampuannya membangun legitimasi, menghadapi ujian keberlanjutan dan dampak transformatif dalam jangka panjang. Analisis ini akan mengevaluasi apakah program-program sosialnya mampu menciptakan perubahan struktural, atau hanya akan menjadi "program paliatif"—yakni, program yang meredakan gejala kemiskinan (seperti gizi buruk atau putus sekolah) tanpa mengobati penyakit utamanya (ketergantungan ekonomi pada industri ekstraktif).
Evaluasi terhadap program bantuan sosial nasional seperti Program Keluarga Harapan (PKH) memberikan pelajaran berharga. Studi menunjukkan bahwa PKH efektif dalam membantu konsumsi rumah tangga jangka pendek, menjaga anak tetap sekolah, dan meningkatkan kunjungan ke fasilitas kesehatan.64 Namun, dampaknya dalam mengubah struktur ekonomi rumah tangga secara fundamental—misalnya, dengan menciptakan wirausaha baru atau meningkatkan pendapatan secara berkelanjutan—masih menjadi perdebatan dan seringkali tidak signifikan.94 Bantuan sosial berisiko menciptakan ketergantungan jika tidak diiringi dengan program pemberdayaan ekonomi yang efektif.
Pertanyaan kritis untuk model ST adalah: Apakah program beasiswa yang masif 7 akan diikuti dengan penciptaan lapangan kerja berkualitas di Maluku Utara sehingga para lulusan kembali membangun daerah, atau justru hanya akan memfasilitasi brain drain ke Jawa atau pusat ekonomi lainnya? Apakah program penanganan stuntingnya 8 hanya bersifat karitatif (pemberian makanan tambahan) atau juga mencakup edukasi pola asuh dan pemberdayaan ekonomi keluarga yang berkelanjutan, yang merupakan faktor kunci keberhasilan jangka panjang?96 Tanpa strategi yang jelas untuk menghubungkan peningkatan kualitas SDM dengan diversifikasi ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di luar sektor tambang, model ST berisiko hanya akan menghabiskan rente nikel untuk program-program yang baik namun tidak transformatif. Ini adalah bentuk lain dari kegagalan mengatasi Kutukan Sumber Daya Alam, di mana kekayaan alam dieksploitasi habis tanpa meninggalkan warisan ekonomi yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.
4. Sintesis & Kesimpulan Komparatif
Bagian akhir ini menyatukan seluruh rangkaian analisis untuk memberikan perbandingan langsung antara kedua model pembangunan, menyimpulkan temuan utama, dan merumuskan rekomendasi kebijakan yang strategis dan dapat ditindaklanjuti.
4.1 Perbandingan Resiliensi dan Potensi Keberhasilan
Untuk membandingkan secara langsung potensi dan kerapuhan dari kedua model, digunakan sebuah matriks komparatif. Matriks ini mengevaluasi setiap model berdasarkan kerangka teoritis yang telah ditetapkan dan resiliensinya terhadap tantangan masa depan yang telah diproyeksikan.
Tabel 4: Matriks Komparatif Resiliensi dan Keberlanjutan Model Pembangunan (Proyeksi 2030-2035)
Kriteria Evaluasi Strategis | Model Infrastruktur-Sentris (HL - Maluku) | Model Pembangunan Manusia (ST - Maluku Utara) | Justifikasi Komparatif |
Potensi Mengatasi Kutukan Sumber Daya | Sedang hingga Tinggi | Rendah | Model HL, jika berhasil, berpotensi membangun ekonomi non-ekstraktif (perikanan, pariwisata). Model ST, dalam bentuknya saat ini, justru memperkuat ketergantungan pada rente nikel tanpa strategi diversifikasi yang jelas. |
Resiliensi thd. Guncangan Harga Komoditas | Tinggi | Sangat Rendah | Ekonomi Maluku yang ditargetkan HL lebih terdiversifikasi. Ekonomi Maluku Utara yang mendanai model ST sangat bergantung pada harga nikel yang volatil. |
Resiliensi thd. Disrupsi Teknologi | Tinggi | Sangat Rendah | Model HL diuntungkan oleh teknologi Akuakultur 4.0. Model ST sangat terancam oleh disrupsi teknologi baterai non-nikel (LFP, Sodium-Ion) yang dapat membuat nikel menjadi kurang relevan. |
Resiliensi thd. Perubahan Iklim | Rendah | Sedang | Infrastruktur fisik pesisir (model HL) sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut. Program sosial (model ST) lebih fleksibel, meskipun target populasinya (masyarakat pesisir) juga sangat rentan. |
Kebutuhan Kapasitas Negara (State Capacity) | Sangat Tinggi | Tinggi | Model HL membutuhkan kapasitas perencanaan, pengadaan, dan pengawasan proyek yang sangat besar. Model ST membutuhkan kapasitas implementasi program sosial yang presisi, tepat sasaran, dan bebas dari kebocoran. Keduanya menghadapi tantangan ini. |
Risiko Kesenjangan Implementasi | Sangat Tinggi | Tinggi | Model HL sangat rentan terhadap pemotongan anggaran pusat dan birokrasi yang lamban. Model ST rentan terhadap kegagalan di tingkat implementasi desa dan potensi ketidaktepatan sasaran bantuan. |
Pembangunan Legitimasi Politik (Jangka Pendek) | Rendah | Tinggi | Manfaat model HL tidak langsung terasa, sementara blunder politik mudah terjadi. Manfaat model ST dirasakan langsung oleh rakyat, efektif membangun dukungan publik awal. |
Potensi Inklusivitas & Pemerataan | Rendah (Risiko Tinggi) | Tinggi (Risiko Sedang) | Tanpa kebijakan afirmatif yang kuat, model HL berisiko menciptakan enclave economy dan memperlebar kesenjangan. Model ST secara inheren lebih inklusif, namun berisiko menciptakan ketergantungan. |
4.2 Kesimpulan Akhir: Paradoks Pembangunan dan Jalan Hibrida
Analisis komparatif ini mengungkap sebuah paradoks fundamental dalam pembangunan daerah di Indonesia Timur. Tidak ada satu pun model yang dapat dianggap sebagai "peluru perak" atau solusi tunggal yang superior secara absolut.
Model Infrastruktur-Sentris Gubernur Lewerissa di Maluku menawarkan potensi transformasi struktural yang sesungguhnya. Ia berani bermimpi untuk membangun fondasi ekonomi yang berbeda, yang tidak bergantung pada ekstraksi sumber daya alam semata. Namun, jalan ini terjal, berisiko tinggi, padat modal, dan secara sosial-politik sangat rentan dalam jangka pendek. Ia berpotensi menciptakan pertumbuhan, namun belum tentu menciptakan pemerataan.
Di sisi lain, Model Pembangunan Manusia Gubernur Tjoanda di Maluku Utara adalah pendekatan yang lebih aman, lebih inklusif, dan secara politik lebih cerdas dalam jangka pendek. Ia berhasil membangun modal sosial dan legitimasi dengan program-program yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat. Namun, model ini berisiko terjebak dalam stagnasi struktural. Ia merawat masyarakatnya dengan pendapatan dari nikel, tetapi tidak membangun tangga bagi masyarakat untuk keluar dari ketergantungan pada industri yang rapuh dan merusak lingkungan.
Kesimpulan utamanya adalah bahwa keberhasilan sejati dalam jangka panjang tidak terletak pada pemilihan salah satu dari dua ekstrem ini, melainkan pada kemampuan untuk menciptakan sebuah pendekatan hibrida. Jalan menuju kemakmuran yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi Maluku dan Maluku Utara menuntut sintesis dari kedua visi tersebut. Gubernur Lewerissa harus secara sadar mengintegrasikan agenda "pembangunan manusia" ke dalam setiap pilar infrastrukturnya. Sebaliknya, Gubernur Tjoanda harus segera menggunakan "legitimasi politik" dan "pendapatan nikel" yang ia miliki saat ini sebagai modal untuk memulai agenda "pembangunan infrastruktur strategis" yang mendukung diversifikasi ekonomi.
4.3 Rekomendasi Kebijakan yang Dapat Ditindaklanjuti
Berdasarkan sintesis dan kesimpulan di atas, berikut adalah rekomendasi kebijakan yang spesifik dan dapat ditindaklanjuti bagi para pemangku kepentingan.
Untuk Pemerintah Provinsi Maluku (Gubernur HL):
- Mandatkan Klausul Pembangunan Inklusif: Setiap persetujuan investasi dan kontrak pembangunan infrastruktur wajib mencakup klausul yang mengikat secara hukum mengenai penyerapan tenaga kerja lokal (dengan target persentase yang jelas), kewajiban pelatihan vokasi bagi masyarakat terdampak, dan program kemitraan dengan UMKM lokal untuk masuk dalam rantai pasok proyek.
- Prioritaskan Infrastruktur Pendukung Ekonomi Biru: Mengingat keterbatasan fiskal, fokuskan alokasi anggaran pada infrastruktur yang memiliki multiplier effect tertinggi bagi ekonomi lokal, yaitu infrastruktur digital (internet berkecepatan tinggi) dan cold chain (gudang pendingin, logistik es) untuk mendukung adopsi teknologi Akuakultur 4.0 dan meningkatkan nilai jual hasil perikanan.
- Diversifikasi Sumber Pendanaan: Secara agresif menjajaki skema pembiayaan kreatif di luar APBN/APBD, seperti Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), obligasi daerah, atau pendanaan dari lembaga multilateral yang fokus pada pembangunan berkelanjutan dan adaptasi iklim.59
Untuk Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Gubernur ST):
- Bentuk "Dana Abadi Nikel" (Nickel Sovereign Wealth Fund): Segera rancang dan sahkan Peraturan Daerah untuk membentuk dana abadi. Sebagian dari pendapatan daerah yang berasal dari industri nikel (pajak dan retribusi) harus dialokasikan ke dana ini. Hasil investasinya dapat digunakan untuk mendanai program sosial (pendidikan, kesehatan) secara berkelanjutan, melepaskan ketergantungan program-program tersebut dari fluktuasi harga nikel tahunan.
- Luncurkan Peta Jalan Diversifikasi Ekonomi 2025-2035: Gunakan momentum politik dan ketersediaan dana saat ini untuk merancang dan memulai implementasi peta jalan diversifikasi ekonomi. Fokuskan investasi pada sektor-sektor potensial di luar tambang, seperti agribisnis (rempah-rempah), pariwisata bahari dan sejarah, serta ekonomi digital. Infrastruktur pendukung untuk sektor-sektor ini harus menjadi prioritas belanja modal.
- Terapkan Kebijakan "Izin untuk Kinerja ESG": Gunakan kewenangan daerah untuk menekan industri nikel agar mematuhi standar Environmental, Social, and Governance (ESG) yang lebih ketat. Perpanjangan izin usaha pertambangan (IUP) dan izin industri harus dikaitkan secara langsung dengan kinerja lingkungan (misalnya, tingkat polusi, progres reklamasi) dan sosial (misalnya, tingkat penyerapan tenaga kerja lokal, program pengembangan masyarakat) yang terukur dan diaudit secara independen.
Untuk Pemerintah Pusat (Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri):
- Desain Ulang Skema Dana Transfer ke Daerah (TKD): Pertimbangkan untuk mereformulasi sebagian alokasi TKD (misalnya, Dana Insentif Daerah) agar memberikan insentif fiskal yang lebih besar bagi daerah yang berhasil meningkatkan PAD secara inovatif, menunjukkan perbaikan tata kelola (indeks SPBE dan Reformasi Birokrasi), dan mencapai target-target pembangunan berkelanjutan (penurunan stunting, perbaikan kinerja ESG).
- Fasilitasi Transfer Teknologi dan Pengetahuan: Secara proaktif memfasilitasi transfer teknologi kunci seperti Akuakultur 4.0 dan teknologi energi terbarukan ke daerah-daerah berbasis sumber daya alam. Ini dapat dilakukan melalui kemitraan antara lembaga riset nasional (BRIN), universitas, dan pemerintah daerah.
- Perkuat Pengawasan dan Penegakan Hukum Lingkungan: Memperkuat kapasitas dan independensi lembaga pengawas lingkungan di tingkat pusat dan daerah untuk memastikan bahwa dampak lingkungan dan sosial dari Proyek Strategis Nasional (PSN) dan industri ekstraktif lainnya benar-benar dimitigasi, dan sanksi yang tegas diterapkan bagi pelanggar.
Paradigma Pembangunan di Maluku dan Maluku Utara (Proyeksi 2025-2035) | E.G. Muskitta